Gemericik air yang turun dari atap ke pelimbahan belum
juga berhenti sejak hujan berhenti sejam yang lalu. Bising suara kendaraan yang
lalu lalang di sekitar menambah ramai suasana sore itu. Padahal masih pukul lima sore, tapi langit
nampak lebih gelap dari biasanya. Tapi tak berarti sore kali ini tidak ditutup
dengan persembahan terakhir sang matahari di senja terakhir di tahun 2013 ini.
Meskipun mendung kelihatan pekat, pias-pias cahaya keemasan dari sang surya
mampu memancar dengan kuat menembusnya. Lebih terlihat seperti pilar-pilar yang
menompang langit agar tak runtuh menimpa bumi. Keelokannya menambah kesegaran
suasana kota
sehabis diguyur hujan.
Samar-samar ku dengar kumandang azan mengalun dari
speaker-speaker masjid di sekitarku. Jenis suaranya beraneka ragam. Bisa ku
tebak, dari sisi kananku suaranya agak berat dan serak, sepertinya itu bapak
berpostur gagah dengan kain sarung yang melilit di pinggangnya setinggi mata
kaki, berpakaian muslim pas badan, dan peci putih bundar seperti orang-orang
yang pulang haji. Dan dari sisi depanku suaranya cempreng dan serawutan. Bahkan
ku dengar juga suara tawa beberapa orang di sekitarnya. Itu pasti suara anak
kecil berpakaian muslim kedodoran, dengan sarung yang dililitkan serampangan,
dan peci yang dipakai agak miring. Tentu ia anak yang baru bisa baca doa makan
atau bahkan belum fasih mengucap bismillah.
Di sebuah kota
kecil, yang belakangan ku dengar bernama Kota Madiun, dua tahun yang lalu aku
terlahir sebagai seekor kucing. Sebelum terlahir di dunia, aku sempat
berdiskusi dengan Penciptaku tentang wujudku saat di dunia. Penciptaku
memberiku berbagai pilihan, mulai dari makhluk dengan tingkat kecerdasan tinggi
berjulukan manusia, lalu burung, pohon, sapi, anjing, lebah, bunga, kotoran,
awan, angin, kaos kaki bau, kentut, cicak, dan masih banyak pilihan lainnya.
Dan aku memilih menjadi kucing. Entah mengapa, tapi dari sini – tempat
Penciptaku tinggal – aku sering mendengar bahwa manusia gemar memelihara
kucing. Merawatnya dengan memberinya
makan dan minuman tanpa harus bekerja. Apalagi di dunia terkenal dengan
beberapa jenis kucing mahal seperti anggora dan Persia.
Penciptaku pun menyetujuinya. Aku terlahir sebagai
seekor kucing.
Aih, ku pikir aku akan lahir dari seekor induk anggora
atau Persia
yang terawat dan tinggal di gedong-gedong dengan sejuta fasilitas seperti yang
aku lihat di tempat Penciptaku. Mau makan atau minum apa saja sudah ada yang
meladeni. Mau ikan ada. Mau makanan kucing bermerek ada. Mau susu ada. Bahkan
mau seekor tikus pun ada yang mau menangkapkan. Alih-alih mendapat fasilitas
itu, kenyataannya aku tidak lahir dari induk kucing impor itu. Aku anak kucing
kampung yang kurus dan kotor. Terlebih lagi aku tak sendirian, tapi aku punya lima ekor saudara sekaligus!
Kami lahir dalam sebuah kardus dekat bak sampah di belakang pertokoan. Kalau
tak hati-hati, kami akan jatuh ke sungai di dekat kami. Alhasil, di tempat
seperti ini kami harus berbagi tempat, makan, dan tidur.
Nasib malang
tak hanya itu rupanya. Beberapa hari kemudian, ibuku mati terlindas mobil yang
lewat di depan pertokoan. Tubuhnya hancur tak berbentuk lagi. Gepeng sampai isi
perutnya keluar semua. Tubuhnya pun dibuang ke sungai oleh beberapa orang yang
tak tahan dengan penampakan menjijikkan itu. Tak lama setelah itu, satu persatu
saudaraku mati. Mereka kelaparan karena tidak ada lagi yang memberinya suplai
makanan, tubuhnya menyusut makin kurus kering. Sembilan nyawa tak menjamin
untuk hidup lama. Kini tinggal aku seekor yang masih hidup. Aku putuskan untuk
pergi dari tempat itu dan mencari sumber kehidupan baru. Menyusuri deretan
ruko, mall, masjid, gereja. Tak peduli panas atau hujan.
Sampai tibalah aku di sebuah perempatan. Perempatan
Tugu namanya. Aku sampai di pusat kota,
di nol kilometer Kota Madiun. Hari ini Madiun tak seperti kota kecil biasanya. Semakin malam semakin
ramai. Semua warga tengah menanti malam pergantian tahun dengan mengadakan
serangkaian acara di luar rumah. Makan-makan, nonton konser music, atau nonton
film di bioskop – aku sendiri tak tahu seperti apa itu film dan bioskop. Warga
mulai anak-anak sampai orang dewasa seakan tak pernah berhenti beraktivitas
malam ini.
Di seberang sana
aku lihat sebuah warung yang menyajikan menu seafood. Bau ikan tercium olehku.
Aku lapar, tapi sepertinya tak punya cukup tenaga untuk ke sana. Langkahku semakin berat. Ku pikir
dengan memiliki empat kaki akan lebih mudah.
Suaraku semakin lemah.
“Meeong.. Meew.. ong..”
Tak satu pun manusia peduli, entah karena suaraku yang
tak mereka dengar atau mereka terlalu jijik dengan penampilanku ini.
Nafasku mulai tak teratur. Warungnya sudah dekat,
tinggal menyeberang perempatan ini. Tapi pandanganku mulai tak jelas. Suaraku
semakin kacau.
“Mee…ooo..ong..Meew..oo..ng”
Ku lihat bayangan ibu dan kelima saudaraku yang mati
tragis. Oh, ini terlalu singkat. Aku tak ingin mati muda, Penciptaku!
Tiba-tiba tubuhku rasanya melayang. Ya, inilah
waktunya. Penciptaku mencabutku secara perlahan. Tapi…
“ Ya ampun, kucing lucu begini kok ada di luar. Puss..
Puss..”
“ Waa, kamu jantan ya? “
Rupanya ada yang menggendongku. Seorang gadis. Cukup
dewasa dari beberapa gadis berkerudung yang baru pulang dari masjid yang
biasanya lewat di depan pertokoan tempat tinggalku dulu. Tangan halusnya tak
ragu untuk sekedar membelai dan membersihkan bulu-buluku yang kusam dan bau.
Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Ia juga mengenakan kacamata. Ia adalah
manusia cantik yang baru aku temui selama aku hidup di kota ini. Cantik menurut ukuran seekor kucing
pastinya.
Ia tak sendirian. Ada seorang anak laki-laki yang
kelihatan lebih muda darinya. Rambut dengan gaya seperti yang ku lihat di
televisi di toko-toko yang aku lewati. Memakai kaos dan celana jins. Ia sedang
membawa sesuatu di tangan kanannya. Tangan kirinya tengah memegang dua terompet. Mungkin untuk perayaan tahun baru.
“Mbak, kucingnya kotor. Udah lepasin, ayo kita
pulang!”
“Duh, lucu banget ini. Kelihatan lapar, badannya kurus.
Digowo bali wae.”
Mereka kakak beradik rupanya. Rupanya mereka baru saja
dari seberang membeli kue dan hendak pulang. Sang kakak lah yang rupanya
mendengar suaraku.
Setelah terjadi perdebatan kecil di antara mereka,
sang kakak yang bersikukuh membawaku pulang dan sang adik yang tidak suka
dengan penampilanku, akhirnya aku dibawa pulang ke rumah mereka. Tak
tanggung-tanggung, aku direkrut menjadi hewan peliharaan gadis itu juga. Akhirnya
Penciptaku mendengar apa yang aku inginkan selama ini.
Hari ini, di malam pergantian tahun ini, aku bertemu
dengannya. Manusia baik hati nan cantik yang sudi mengangkatku sebagai hewan
peliharaannya.
Sudah hampir setahun aku tinggal di rumahnya. Oh ya,
gadis itu Dinda namanya. Ia tinggal berdua dengan David, adiknya. Dinda gemar
memelihara kucing rupanya. Ya, saat pertama kali aku ke sini, aku sudah
disambut oleh tiga ekor kucing peliharaannya. Kucing anggora putih bernama
Keishe dan Meishe, dan seekor kucing kampung sepertiku bernama Duishe. Dan
sejak saat itu juga, aku resmi menyandang nama baru, Luishe. Dan sang adik
sendiri memilih memelihara beberapa mobil mainan. Mengoleksi lebih tepatnya.
Di rumahnya juga, segala kebutuhanku setidaknya
terpenuhi. Setiap hari aku diberi makanan khusus kucing seperti kepingan kue
kecil yang bentuknya seperti ikan. Bahkan hari pertama aku disini, aku makan
tikus dari tetangga yang membuangnya di dekat rumah Dinda.
Dari keempat kucing yang dipelihara Dinda, mungkin aku
yang bernasib kurang beruntung. Dimulai dari Keishe yang menceritakan masa
lalunya sebelum dipelihara Dinda.
“ Meong.. Dulu aku tinggal di sebuah kondominium di
sebuah kota yang jauh banget. Majikanku seorang pengusaha besar yang mengurus
masalah ekspor impor di negara kita. Aku juga sering diajak keliling ke
beberapa negara. Kalian tahu Menara Pisa? Colloseum? Tembok Besar Cina? Aku
sudah pernah kesana.”
Meishe, kucing anggora satunya tak mau kalah.
“ Meong.. Kalau aku pernah tinggal lama di Amerika.
Kalian tahu negara itu kan? Ya, disana aku bisa rasain empat musim sekaligus.
Kalian pasti belum pernah ngerasain salju kan. Meong..”
Duishe, walaupun jenisnya sama sepertiku, setidaknya
dia lebih beruntung untuk ukuran kucing kampung yang biasa tinggal di gang-gang
sempit atau himpitan rumah-rumah kumuh.
“ Meong.. Duishe dulu tinggal di rumah makan yang
penuh dengan ikan dan daging. Meong..”
Hey, walaupun begitu entah mengapa dari keempat kucing
yang Dinda miliki, akulah yang sering dibawanya kemanapun. Ya meskipun semua
kucing secara bergiliran pernah dibawanya pergi, tapi menurut perhitunganku,
dalam sebulan ini sudah sepuluh kali aku dibawanya. Melampui rekor Keishe yang
menurutku lebih lucu dan, ehm.. pantas.
Pernah suatu ketika teman Dinda bertanya.
“ Din, perasaan lu punya kucing anggora deh. Kok lu
malah sering bawa kucing kampung kayak gini sih? Iih…“
Ehm, pertanyaan itu cukup membuatku tersinggung. Tapi
sebagai kucing peliharaan Dinda, tak mungkin aku tiba-tiba melompat dan
mencakar wajahnya. Sabar Luishe. Tetap anggun dan tenang. Aku hanya bisa tetap
diam bermanja-manja di pangkuan Dinda dan menampilkan tatapan mata yang lucu
yang ingin dimanja.
Eits, Dinda tentu tak tinggal diam.
“ Ah, emang kenapa? Aku paling suka sama kucing ini.
Gak tau kenapa. Hati kita udah pas mungkin. “
Tunggu dulu! Apa yang baru saja Dinda katakan? Dia
suka sama… Aku?
Tidak tahu ini wajar atau tidak, tapi aku sebagai
seekor kucing kampung yang pernah hampir mati di malam tahun baru ternyata bisa
merasakan seperti ini. Kucing bisa jatuh cinta rupanya. Bukan pada sesama
kucing, tetapi pada seorang manusia. Seorang gadis anggun nan baik hati bernama
Dinda.
Dinda… D-i-n-d-a…
Seharian ini nama itu yang sering ku sebut dalam
pikiranku. Mengejanya tanpa henti. Aku juga berpikir dapat bertemu dengannya
dalam sosok lain yang lebih layak. Aku menjadi seorang pemuda ganteng yang
gagah dan berpenampilan seperti cowok masa kini, mengajak Dinda untuk berkencan
di sebuah kafe di Plaza Madiun. Memesan seporsi ikan bakar untuk kita makan
berdua dan dua gelas susu. Lalu kami menikah, dikaruniai anak-anak yang tampan
dan cantik, lalu hidup bahagia selamanya. Atau Dinda yang menjadi kucing
kampung sepertiku. Lalu ku ajak Dinda pergi berkencan dari satu warung makan ke
warung makan lain. Makan ikan tentunya. Lalu kami beranak pinak dan hidup
bahagia sebagai keluarga kucing kampung. Wuih..
“ Apa? Dinda? Kamu suka Dinda?” kata Duishe yang
tiba-tiba, mengagetkanku.
“Heh? Apa? Apa? “ kataku.
Aku sendiri kaget saat Duishe tiba-tiba muncul dan
mengetahui apa yang aku pikirkan.
“ Sadar dong. Kamu siapa, Dinda siapa. Kalian gak
bakal bisa bersama. Ngerti? “ Kata Duishe. Lalu Duishe meninggalkanku
sendirian.
Benar juga kata Duishe. Kita nggak bisa hidup bersama
layaknya sepasang manusia atau sepasang kucing yang saling mencintai.
Tapia apa salahnya memendam rasa cinta dan suka ini?
Pagi itu, rumah Dinda kelihatan lebih ramai. Bukan
karena kami para kucing yang membuat kegaduhan. Tetapi kami kedatangan tamu.
Seorang tamu dengan seekor anjing. Anjing? Demi apa rumah Dinda yang seperti
surga bagi kami ini kedatangan seekor hewan musuh bebuyutan kami bangsa kucing!
Tamu itu saudara Dinda yang lama tinggal di luar kota dan akan menetap di rumah
Dinda. Dan itu artinya, kami akan berbagi tempat dengan anjing itu.
Awalnya kami cukup berbesar hati menerima keberadaan
anjing itu, yang belakangan kami ketahui bernama George. Tapi kami mulai
sedikit…ya sedikit tidak suka dengannya semenjak sebuah peristiwa di suatu sore
saat Dinda dan Dandy, saudaranya itu akan pergi jalan-jalan dengan mengendarai
mobil. Sejak saat itu mereka sepakat hanya membawa George saja, karena tidak
mungkin kucing dan anjing di tempatkan dalam satu mobil. Itu juga karena Dinda
yang tidak enak hati pada Dandy.
Sore itu juga, Keishe sebagai tetua peliharaan di
rumah Dinda mengumpulkan kami di ruang dapur membahas masalah ini.
“ Meong.. Ini tidak bisa dibiarkan. Kedudukan kita
sebagai hewan kesayangan Dinda bisa terancam dengan keberadaan George di rumah
ini, “ kata Keishe sambil mencakar-cakar lantai.
“ Iya, aku sependapat. Suplai susu untuk kita juga
berkurang, karena harus dibagi dengan George. Ya walaupun nggak setiap hari
juga, sih. Meong… “ kata Duishe.
Meishe yang sedari tadi bermain-main dengan gulungan
benang wol datang menghampiri kami dan berkata, “Kita harus melakukan sesuatu.
George dan Dandy harus segera keluar dari rumah ini. Meong.. Ada usul bagaimana
cara mengusir mereka?”
“ Sepertinya aku belum mendapat ide, bagaimana dengan
kalian? “ kata Keishe.
“ Meong… Aku belum ada,” kata Duishe.
“ Aku juga belum ada, Meong..“ kata Meishe.
Mereka mondar-mandir sambil memutar bola mata mereka
kesana kemari. Dan mereka berhenti, di depanku. Menatapku yang sedari tadi
hanya duduk diam memandang mereka.
“Luishe, mungkin kamu ada ide cemerlang? Meong.. Ayolah,
demi kelangsungan hidup kita di rumah Dinda. “ kata Meishe kepadaku.
“Ehm.. Meong… Aku sendiri juga belum memikirkannya,
kawan.” Kataku.
Aku sendiri lebih senang memikirkan Dinda yang sedang
berjalan-jalan. Hmm, biasanya aku yang diajaknya berjalan-jalan di mall.
Melewati beberapa toko baju dan sepatu kesukaannya. Lalu diajak mampir makan.
Kemudian aku diajak ke pet shop untuk merawat tubuhku. Perasaan yang tak biasa
antara kucing dengan majikannya. Oh, Penciptaku. Rupanya ini rahasia mengapa
aku dilahirkan dari seekor induk kucing kampung yang hidup di bak sampah
pertokoan. Inilah mengapa saat itu ibu dan kelima saudaraku satu persatu mati.
Inilah mengapa aku ditempatkan pada Perempatan Tugu saat malam tahun baru itu,
hanya untuk bertemu Dinda. Untuk merasakan waktu-waktu berlalu bersamanya.
Untuk merasakan perasaan yang tidak wajar dan membuatku susah tidur. Oh
Penciptaku! Sayangnya perasaan itu terhalang dalam posisi kami yang tidak
memungkinkan. Tidak mungkin ada hubungan yang lebih serius di antara kami
selain kucing dan majikannya. Selain peliharaan, tidak ada status yang lain.
Pagi itu kami melakukan diskusi lagi.
“ Meoong!!! Apa-apaan ini! Dinda akan membuang salah
satu dari kita demi seekor anjing itu? Tidak bisa dibiarkan ini. “ Meishe
kelihatan sangat geram dan marah.
Rupanya masalah finansial yang terjadi di rumah Dinda
penyebabnya. Harga susu dan makanan kucing yang semakin mahal. Terlebih lagi
menyediakan susu tambahan dan makanan anjing untuk George. Dinda, David, dan
Dandy sebelumnya telah membicarakan masalah logistik peliharaan di rumah
mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk memilih hewan peliharaan mana yang tetap
dipertahankan. Bukan secara langsung dibuang ke tempat sampah atau ke pasar.
Tapi di jual atau diberikan pada orang lain. Tapi tetap saja ini tidak adil
untuk kami bangsa kucing.
Kami para kucing pagi itu tak sengaja mendengar
percakapan mereka.
“ Kak Dinda, kucing kakak kan udah besar-besar. Yang
anggora dijual masih laku lo, kak. Oh ya, temen-temenku juga ada yang hobi
pelihara kucing di rumahnya. Bisa tuh dikasih ke temen-temen David, “ kata
David memberi usul pada diskusi mereka bertiga itu.
Dinda menolak dengan keras, “Hush, enak aja! Aku
sayang banget sama mereka. Kamu tau kan, aku mulai pelihara kucing sejak aku
kecil. Aku juga sering bawa mereka kemanapun aku pergi.”
“ Kalau George nggak mungkin deh. Soalnya ini
sebenarnya punya adikku. Dia nitipin ke aku selama dia pergi ke luar negeri, “
kata Dandy yang menurutku semakin memperpanas keadaan kami.
Dan Dinda yang tampak pasrah dan kelihatan tidak enak
hati mempersalahkan Dandy dan George menjawab, “Ya sudah, terserah kalian saja
mana yang terbaik. “
Alhasil, kami langsung pergi menuju ruang rahasia.
Gudang perabotan bekas rumah Dinda menjadi ruang yang cukup rahasia untuk kami
berdiskusi.
Keishe sebagai tetua memulai diskusi.
“ Kalau begini terus, mau tidak mau kita harus
melakukan serangan pada Dandy dan George. Mereka harus kita buat tidak nyaman
tinggal disini.”
“ Meong.. Tapi gimana kalau kita yang ternyata
disalahin dan akhirnya kita semua dibuang?” Tanya Meishe.
“ Meong, manusia sama saja rupanya. Kalau suka
dipuja-puja, kalau sudah tak suka dibuang begitu saja. Meong..” Duishe
menyahut.
Meninggalkan Dinda? Terdengar seperti mimpi buruk
buatku. Aih, jangan sampai pisahkan kami, Penciptaku. Aku tak mau kembali hidup
di dalam kardus belakang pertokoan. Aku tak mau terlunta-lunta dan mati
kelaparan seperti kelima saudaraku dulu. Aku tak mau sekarat dan hampir mati
kelaparan seperti waktu malam tahun baru di Perempatan Tugu itu.
“ Luishe? Luishe? Hey, apa kamu setuju?” Tanya Duishe
mengagetkanku.
“eh, ya apa? Setuju apa?” tanyaku.
“ Jadi begini. Kita akan melakukan serangan
besar-besaran ke Dinda, David, Dandy, dan George tentunya. Tujuannya ya bikin
Dandy dan George nggak betah tinggal disini dan menyadarkan Dinda dan David
kalau kita masih layak tinggal disini. Gimana?” kata Meishe.
Aku terdiam. Sebenarnya aku suka dengan rencana ini.
Mengusir Dandy dan George. Tapi aku tidak setuju jika harus melibatkan Dinda
sebagai salah satu target korban serangan kita. Aku tidak mau Dinda terluka.
Tidak.
“Jangan bilang kamu masih suka sama Dinda!” kata
Duishe tiba-tiba.
“ Luishe! Berani kamu melakukan hal terhina seperti
itu. Apa kamu tidak dengar apa yang akan Dinda lakukan pada kita. Dasar bodoh
kamu! “ kata Keishe yang kelihatan sangat marah.
“ Sudah. Begini saja. Aku tak mau tahu tentang cinta
bodohmu pada Dinda itu. Yang penting kita akan menyerang mereka nanti malam
saat mereka tidur. Jadi mulai persiapkan mental dan tubuh kalian. Oke?” kata Meishe
yang juga mengakhiri pertemuan kami kali ini.
Tidak. Jangan Dinda menjadi korban juga. Tapi aku tak
bisa berbuat apa-apa. Aku yang paling muda disitu setidaknya harus patuh pada
yang lebih tua. Kucing juga punya adab seperti manusia.
Pukul sebelas malam tepat kami berkumpul di dapur.
Mempersiapkan penyerangan besar-besaran kami. Sebelumnya kami mengadakan
semacam makan bersama di kandang milik Keishe. Penyerangan kali ini tidak boleh
gagal sedikitpun. Target kami tetap Dandy dan George. Besok pagi mereka harus
keluar dari sini.
Tapi tidak adil rasanya kalau Dinda juga harus ikut
menjadi korban.
Sebelum penyerangan dimulai, Keishe berkata pada kami.
“Demi kelangsungan hidup dan kebutuhan kita di rumah
Dinda, mari kita rusak ketentraman hidup Dandy dan George malam ini. Mereka
berdua harus pergi besok pagi!”
Kata-kata Keishe barusan hanya kami tanggapi
sebagaimana kucing biasanya.
“Meong.. Meong.. Meong…”
Malam itu, Dinda, David, Dandy dan George tidur di
ruang tengah. Mereka kelelahan karena habis nonton film di bioskop. Dinda,
David, dan Dandy tidur berjajar di atas kasur yang sengaja mereka siapkan di
ruang itu. George tidur di dekat pintu.
Kami pun berbondong-bondong pergi ke ruang tengah.
Mata kami cukup bisa diandalkan dalam suasana gelap rumah Dinda malam itu.
Mengendap-endap secara perlahan. Hingga akhirnya kami sampai di ruang tengah.
Ku lihat Dinda tidur di samping David. Rambut
panjangnya tergerai menutupi bahu dan dadanya. Saat tidur ia kelihatan lebih
cantik, terlebih karena ia tak memakai kacamatanya. Tak sampai hati sebenarnya
aku menyerang Dinda. Dan jika bisa aku memilih, aku harusnya datang
menghampirinya dan membangunkannya. Menyelamatkannya dari serangan membabi buta
para kucing peliharaannya.
Tap.. Tap.. Tap..
Perlahan kami berjalan, kami berpencar di setiap sudut
ruang itu. Aku sedikit gugup saat melewati George. Anjing diberkahi penciuman
serta pendengaran yang tajam. Dan itu terbukti. George terbangun.
“Guk.. Guk.. Guk..” gonggongan George memecah
keheningan malam. Dinda, David, dan Dandy sontak terbangun.
“Serbu!!!!” Kata Keishe..
“Meong.. Meong… Meong…” sahutku, Meishe, dan Duishe.
Kami berpencar, lari kesana kemari. Naik sofa, naik
televisi, mengobrak-abrik isi lemari, memecahkan guci, menabrak kesana kemari.
George juga ikut lari kesana kemari mengejar kami. Tapi dia kalah jumlah. Dan
tak ada satupun dari kami yang mampu ia tangkap.
“ Maling!!! Maling!!!” teriak Dandy ketakutan.
“Hidupin lampunya!” kata David.
“ Mati lampu! Ini bukan maling, kucing-kucingmu
menggila! “ teriak Dandy lagi.
Dinda yang ketakutan langsung membuka pintu rumah.
David dan Dandy mengambil tongkat golf untuk memukul mundur kami. Aku dan
ketiga kawanku cukup terdesak. Tapi kami berhasil menyerang Dandy, mencakar
kaki kanannya sampai berdarah. Dan..
Bugh! Bugh! Bugh!
Tubuhku terkena pukulan tongkat golf dari Dandy. Tak
hanya itu.
Bugh! Bugh! Bugh!
Tongkat David juga telak memukul kepalaku sampai agak
pusing. Tubuhku yang kecil setidaknya mampu kesana kemari dan cukup kuat
ternyata menghadapi pukulan itu.
“ Luishe, bawa mereka keluar!” teriak Keishe.
Aku pun menuju keluar rumah. Dandy dan David masih
mengejarku sambil membawa tongkat golf. Dinda juga mengikuti dari belakang. George
masih sibuk mengurusi ketiga temanku.
Kecepatanku makin ku tambah saat ku lihat Dandy
semakin cepat berlari. Dandy? Lalu dimana David dan Dinda?
Ternyata mereka mengambil jalan pintas untuk
menghadangku di depan. Aku terdesak, tubuhku entah sedikit lelah. Namun secara
tidak langsung aku berhasil membawa Dinda agar tak ikut menjadi korban ketiga
temanku. Nah, sekarang tugasku menyelesaikan Dandy. Ada persimpangan jalan di
depan sana. Akan aku bawa ia kesana, biar Dandy tertabrak.. Haha
Dengan lihai aku hindari pukulan David dan Dandy.
Dandy yang terpancing emosi mengejarku dengan cepat. Dan Dinda mengikutiku di
depan Dandy. Dan tibalah kami bertiga di persimpangan jalan itu. Ku dengar truk
berjarak 100 meter melaju dari belokan menuju ke arah ini. Dan pas di jalan itu
ada Dandy dan… Tunggu! Tak seharusnya Dinda disana.
Hingga akhirnya..
Brugh..
Dinda tertabrak truk yang melaju sangat kencang itu.
Tubuhnya terlempar beberapa ratus meter dari tempat tabrakan. Kepalanya
mengeluarkan banyak darah. Dandy juga ikut tertabrak, tapi dia tak separah
Dinda.
Dan beberapa menit kemudian, Dinda meninggal.
Malam tahun baru kali ini aku hanya ingin tidur saja.
Di tempat pertama kali aku dan Dinda bertemu, di Perempatan Tugu Kota Madiun.
Menikmati indahnya malam pergantian tahun dan langit yang masih dinaungi
mendung. Dan akupun tertidur pulas.
Malam itu aku bermimpi. Tiba di sebuah tempat yang
sejauh mata memandang, hanya warna putih yang terlihat. Damai, tentram, dan
penuh cinta.
“Dimana aku?”
Dan tiba-tiba ku dengar suara seorang gadis yang
pernah ku kenali suaranya.
“Dinda?” kataku.
Dan dari
“Iya, ini Dinda Luishe. Apa kabar? Ayo ikut aku
jalan-jalan.”
Dan tangannya pun menggandeng tanganku. Kami
berjalan-jalan saat itu, sebagai sepasang kucing. Mari, Dindaku. Kita susuri Kota Madiun malam ini. Singgah di Perempatan Tugu, tempat kita pertama bertemu seperti malam perayaan tahun baru saat itu.