Selasa sore di atap sekolah setelah bel pulang. Ada kamu yang
sekarang sedang duduk termenung menunggu hujan reda. Memikirkan peristiwa-peristiwa
beberapa waktu silam. Membayangkan hal-hal indah yang terlah terjadi di masa
lalu. Membuat rencana-rencana gila untuk kamu lakukan di waktu selanjutnya.
Tapi ada satu yang sedang kamu renungkan sekarang. Ada yang kurang dengan kamu
sekarang ini. Rasanya tidak lengkap. Dulu kamu yang tidak sendirian duduk di
atap sana. Dulu kamu yang punya tempat untuk berbagi. Kamu yang dulu tidak
sendirian menghadapi dunia dan segala kroni-kroninya. Membuatmu risau. Tidak
tenang. Tidak siap kalau harus menghadapi sendirian.
Lalu kamu mengambil telepon genggam di sakumu. Mulai
mengetik sesuatu di situ. Sekedar mengirim pesan singkat untuk dia. Menanyakan
kabar tentang dia. Meluapkan seluruh tanya, perhatian, dan perasaanmu dalam
pesan singkat yang kamu kirim. “Apa
kabarmu? Sedang apa kamu sekarang? Apa hujan kali ini menyenangkan?”
Berharap dia akan membalasnya juga, berharap tanpa sedikitpun keraguan dalam
pesan balasan darinya. Berharap dia meluapkan segala perasaan dan isi hatinya
juga. Atau sekedar menanyakan kabarmu pada hujan kali ini. “Baik, kamu? Apa hujan kali ini
menyenangkanmu juga?”
Tiba-tiba kamu berhenti. Ah, terlalu panjang pertanyaanmu ini.
Lalu kamu mulai menghapus kalimat terakhir. Berpikir, apa mau dia membalas
pesan darimu. Karena kamu merasa pesanmu itu terlalu posesif. Menodong segala
aktivitasnya di hujan kali ini. Apa penting aku menanyakan tentang hujan kali
ini padanya? Apa hujan pertama tahun ini begitu berarti di matanya? Timbul
segala macam ketakutan dalam pikiranmu. Takut pesanmu diacuhkan. Takut pesanmu
dibaca oleh teman-temannya lalu dia ditertawakan. Takut ina... Takut ini...
Takut ita... Takut itu...
Tapi rasanya hujan kali ini sangat penting untukmu. Karena
kalian pernah menikmatinya tahun lalu, hujan pertama di tahun lalu. Karena
dalam hujan kalian pernah menyatukan asa, merajut mimpi, membangun rasa
bersama. Menatap lembut mendung-mendung di angkasa. Butir-butir hujan yang
turun seakan memutarkanmu sebuah rekaman hidup. Memori bersama. Rasanya
abu-abu. Datar. Rasa rindu dan kesal saling menghilangkan. Kenangan bahagia dan
ironi kenyataan yang terjadi padamu sekarang seakan terpampang nyata. Membawamu
pada satu kepastian. Bahwa semua juga akan berlalu begitu saja.
Lalu kamu menghapus kalimat sebelumnya. Seharusnya kamu
tahu, apa yang sedang dilakukannya sekarang. Kalian tinggal dalam satu kota.
Satu kompleks. Di jalan yang sama. Nomor rumahmu 10, sedangkan dia 8. Cuma beda
dua angka, tapi rasanya sangat jauh sekali. Rasanya berjarak, ada halangan
besar di antara kalian. Kalian belajar di sekolah yang sama. Ya, walaupun
kalian terpaut satu angka tahun dalam tanggal lahir kalian. Mungkin sistem kelas dan pola pembelajaran
ini yang memisahkan kalian. Padahal setiap hari kamu lewat di depan kelasnya.
Padahal dia selalu terlihat olehmu dari luar. Karena tempat duduknya di baris
ketiga dari pintu. Kamu bebas melihatnya dari luar. Hanya sebagai penonton.
Pemimpi.
Kalian terlalu sibuk dengan rutinitas masing-masing.
Pelajar, pemuda, pemimpi, penggosip, pelari, dan pe pe lainnya. Hanya
keberuntungan yang mempertemukan kalian lagi. Menghitung peluang adalah salah
satu yang mungkin untuk kalian kerjakan sekarang. Ah, bukan kalian. Mungkin cuma
kamu saja yang sedang melakukannya. Apalagi sebutan yang pantas untukmu? Angan-angan
yang bertepuk sebelah tangan?
Akhirnya kamu memutuskan untuk menghapus semua pesan
singkatmu. Semua rencana batal. Tidak ada plan A, plan B, dan plan tanpa isi
lainnya. Kamu mulai menyerah pada segala ketakutan dan kemungkinan yang
terlintas dipikiranmu. Benteng terakhirmu telah digempur oleh bayang-bayang
tentangnya yang tak bisa kamu tangkap. Segala label pecundang mulai kamu
tempelkan sendiri pada perilakumu, sikapmu, ucapanmu.
Di posisimu sekarang, di atap sekolah, kamu duduk termenung.
Menunggunya keluar dari kelasnya. Di posisimu sekarang adalah tempat strategis
yang mampu kamu tempati. Bebas menatapnya. Melihat langkah kaki pertamanya saat
keluar dari kelasnya. Melihatnya menuntun sepeda, keluar gerbang, lalu pulang
ke rumah. Cinta memang tidak bisa diukur dengan akal pikiran siapapun, entah
Einstein sampai Kopral Jono sekalipun. Cinta langkah kaki. Begitulah kamu
menyebutnya.
Entah sudah berapa menit, berapa jam kamu menunggunya.
Kenapa dia tidak keluar? Atau jangan-jangan dia sudah pulang duluan?