Angin dingin diam-diam menyelinap dalam perumahan
Mendung pelan pelan turun dari kerajaan langit
Hitam menaungi angkasa raya
Aku berdiri sendiri disini
Diantara hamparan rerumputan yang mulai suram
Detik demi detik berlalu tanpa melakukan apa-apa
Dalam pikiran bergejolak seribu satu angkara
Sanubari menunjukkan gejalanya untuk segera keluar
Meluap-luap
Tumpah
Apa yang selama ini aku hadapi, Tuhan
Apa yang selama ini aku perbuat, Tuhan
Apa selama ini aku hanya berdiam diri saja
Atau aku hanya lari, kemudian kabur
Tuhan!
Dimana aku selama ini
Sejauh itukah aku dengan nasib baikku
Atau sedekat itukah perasaan itu
Hingga sekarang aku terdampar dalam dimensi kehampaan
Tuhan!
Terlalu hina dina tubuhku sekarang
Untuk melaju keluar dan berhadapan dengan makhluk-makhluk-Mu
Sangat berat beban dan tanggungan ini
Terlalu bodoh pikiran ini
Untuk sedikit peka dan mencair
Apa yang harus aku lakukan, Tuhan
Tuhan!
Kamis, 26 September 2013
Senin, 23 September 2013
Pengagum Rahasia
Pada hari hari biasa
Aku telah terbiasa
Memandang wajahmu yang
luar biasa
Pada hari hari pagi
Aku telah berjanji
Menatap setia wajah
berseri
Pada hari hari malam
Aku sedang tenggelam
Terjatuh ke dalam
senandung temaram
Pada saat saat itu aku
melihat
Ada pandangan lain yang
tersirat
Ada kedamaian lain yang
melekat
Pada saat saat itu
semua
Aku hanya bisa
memandangmu dari jauh
Aku hanya bisa
merasakannya untuk diriku sendiri
Aku hanya bisa
mengagumimu secara rahasia
Hanya perbincangan untuk menghabiskan waktu yang tersisa
Hanya perbincangan
untuk menghabiskan waktu yang tersisa. Waktu itu aku dan teman sekelasku
membahas sedikit topik yang menyangkut masa lalu. Tentang kebanggaan memiliki
seorang sahabat.
Aku bertanya apa selama
hidupnya temanku memiliki seorang sahabat. Ia pun justru balik bertanya
kepadaku. Aku terdiam. Aku sendiri tidak tahu apa definisi seorang sahabat.
Bagiku kata sahabat itu maknanya kabur, samar-samar. Tidak seperti teori
relativitas Einstein atau rentetan rumus hukum Newton yang wajib dipahami oleh
anak-anak SMA saat ini. Sampai saat ini, aku mendefinisikan sahabat sebagai
suatu teori ketidakpastian. Karena terkadang saat kita menganggap seseorang
sebagai sahabatnya, belum tentu orang yang dimaksudnya meresponnya dengan
jawaban, “Kau juga sahabatku”. Begitu tidak pastinya, entah apa karena kita
tidak menuntut sebuah kepastian darinya.
Kembali ke cerita awal.
Temanku berkata, seumur hidupnya ia merasakan memiliki teman sejalan, dalam
bahasa Jawa kanca plek, saat ia masih
SD. Itupun karena ia selama 6 tahun berturut-turut satu kelas dengannya. Kalau
seperti itu sih, aku juga punya. Bukan hanya di sekolah, di rumah, di tempat
ngaji, sampai di pasarpun aku punya. Dari sifat alim seperti sahabat-sahabat
nabi dahulu sampai kegilaan akut tanpa ampun yang di derita teman – temanku.
Bersama teman-temanku, dulu aku pernah belajar kelompok, bersepeda keliling
kota, mencuri jambu biji tetanggaku, menggoda balita-balita sampai menangis,
menjadi orang tua angkat seekor kucing, melempar mercon di pekarangan orang sehabis
salat subuh, sampai iseng menelpon nomor telepon rumah di buku telepon. Begitu
nakalnya, entah aku jadi bangga karena kejahatan kelas ikan sarden itu aku
lakukan bersama-sama.
Memiliki sahabat
berarti harus memiliki kehati-hatian. Meningkatkan sensitivitas dan kepekaan
perasaan, dan emosi. Harus lebih peka daripada detektor banjir di sungai-sungai
kumuh itu. Karena kita saling mengenal dan mengetahui kelebihan dan kelemahan
kita, bahkan mungkin sejak kita lahir dan mata kita mulai melihat dunia luar. Karena
itu berarti beberapa hidup, nyawa, dan jiwa kita luapkan bersama sahabat.
Temanku tadi bertanya
lagi, apa aku punya sahabat.
Aku jawab saja, waktu
SD...
Manusia untuk Manusia
Sekali lagi aku
menghadapi
Menjadi satu-satunya
Orang di dunia ini
Kalau aku manusia,
Berarti cuma aku
manusia di bumi
Walaupun akhirnya aku
bukan manusia
Berarti mereka-mereka
yang disekitarku
Adalah manusia
Hidupku seakan cuma
memberiku dua pilihan
Hanya aku manusia di
bumi, atau aku bukan manusia
Mengapa tidak ada yang
berpihak kepadaku?
Mengapa tidak ada yang
bisa mendengarku?
Melihatku disini
Mendengar aku berbicara
Menganggap aku ada
Apa cuma kertas, pulpen
Yang jadi satu-satunya
teman setiaku
Dimana teman-teman
manusiaku lainnya?
Apa yang mereka perbuat
selama ini?
Memang pantang untukku
membagi kesedihan
Tapi apa itu artinya
mereka tidak mau
Berbagi kebahagiaan
denganku
Berbagi cerita
bersamaku
Meluangkan waktunya
sedikit saja bersamaku
Aku iri pada beberapa
manusia
Yang punya tempat
tersembunyi
Di beberapa hati
manusia lainnya
Aku iri pada beberapa
manusia
Yang tanpa
mengungkapkan perasaannya
Bisa mendapat apa yang
ia inginkan
Beberapa kali aku benci
Pada nasibku sendiri
Pada tubuhku sendiri
Aku begitu lemah,
pasrah, penyerah
Akibat kesalahan fatal
Terjatuh dari impian
dan cita-cita sendiri
Tenggelam dan terseret
arus pada tepian muara
Termakan oleh keganasan
ombak samudera
Tubuhku hancur,
tercerai berai ke empat penjuru mata angin
Dimakan dengan rakusnya
oleh ikan-ikan laut
Dan ikannya dipancing
manusia
Dimakan manusia
Apa begitu nasibku,
berakhir pada perut-perut kerakusan manusia?
Cuma begitu tingkah
kebiadaban manusia
Hidup cuma untuk makan
tidur dan buang hajat
Tanpa mau memperhatikan
aku
Sebagai manusia yang
tidak dimanusiakan
Hei manusia-manusia di
sekitarku
Aku mohon
Beri aku sedikit saja
Waktumu
Hidupmu
Apa kau dengar,
manusia?
Hening
Jumat, 20 September 2013
Rekening Waktu untuk Ayid
Hai, malam. Hari ini aku ingin bercerita. Di Hari Jum'at ini, sehabis pulang shalat jum'at, aku menerima telepon. Telepon berita duka. Saudaraku (teman ayahku, tapi sudah dianggap saudara) meninggal dunia, tepat 20 hari setelah kematiannya. Ia kebar, umurnya sekitar 13 tahun. Tahun ini baru masuk SMP. Cuma ingin meluapkan rasa tersesak di otak dan hati, aku coba buat tulisan untuk saudaraku ini.
Rekening Waktu untuk Ayid
Yid, hari ini purnama
Si Dewi Chandra bersinar dengan anggunnya
Kau pasti suka, Yid
Yid, sudah tiga belas tahun kita bersama
Itu artinya 156 bulan kita bercerita
Itu artinya 4680 hari kita berlari
Atau 112320 jam kita bersenda gurau
Mungkin 6739200 menit kita bernyanyi
Sampai 404352000 detik kita saling melindungi
Yid, sudah tenangkah engkau disana?
Apa sudah bertemu Bapak kita?
Bapak yang meninggalkan kita
Dua puluh hari yang lalu?
Sebegitu rindunya kau pada Bapak?
Yid, setidaknya aku bersyukur disini
Setidaknya sakit di tubuhmu terobati
Dan rasa kangenmu terbayar
Yid, sampaikan salamku pada Bapak, ya
Jaga Bapak disana
Biar aku yang jaga Ibu disini
Sampaikan salamku pada bapak
Aku, Ibu, kakak, dan adikmu
senantiasa berdoa
setia untuk berkunjung di tempatmu
Semoga Sang Khalik melindungimu
Dan semoga hari Jum'at ini melindungimu juga
Yid, terima kasih
atas rekening waktu yang engkau berikan
Kini saatnya aku tutup rekeningku
Aku harus buat rekening baru
Rekening waktu,
Tanpamu, Yid
Selamat Jalan, Yid..
Untuk Farid, yang tengah terlelap selamanya
Disini Fahri, hidup untuk berjuang
Berdoa
Selasa, 17 September 2013
Sebuah Keberanian
Tabir kelemahanku mulai membuka
Hanya bisa membayangkan tanpa ingin menyatakannya
Hanya mampu untuk menulis tanpa keberanian untuk
mengungkapkan
Hanya sebatas membaca tanpa menafsirkan tembang yang
dinyanyikan alam
Terlalu kecil untuk bisa bermimpi setinggi tiang
bendera
Terlalu keras untuk dapat menerima setiap
konsekuensi
Terlalu besar untuk masuk pada kesempatan –
kesempatan kecil
Terlalu ramai untuk hati yang masih hening
Tapi ini yang terakhir
Aku sudah menyatakannya, walau tidak secara langsung
Aku berani berucap, walau cuma satu dua kata
Aku sanggup mengartikan makna tersirat yang diberi
alam
Aku mampu terbang untuk lebih tinggi dari bintang –
bintang di angkasa
Aku mampu nyaman selembbut kapas untuk
setiap manusia
Aku bisa lebih menyesuaikan diri untuk siap pada
setiap kesempatan
Aku mencoba untuk masuk dan mengerti pada setiap
hati dan mata di depanku
Seperti angin pada lembah bunganya
Seperti jangkar pada setiap pelabuhan
Seperti tetesan embun pada helai daun saat fajar
Aku akan berputar, berjalan, seimbang, dan bahagia
Seperti roda sepeda dan penumpangnya
Sabtu, 14 September 2013
Keputusan Penting
25 November 2013 nanti
Aku genap berumur 18 tahun
Di hari itu, aku akan membuat satu keputusan penting dalam hidupku
Butuh banyak doa
Butuh banyak nasihat dan wawasan
Butuh minta doa restu ortu, restu sana, restu sini
Aku sudah kelas 3 SMA
Aku harus meyakinkan diriku sendiri
Aku genap berumur 18 tahun
Di hari itu, aku akan membuat satu keputusan penting dalam hidupku
Butuh banyak doa
Butuh banyak nasihat dan wawasan
Butuh minta doa restu ortu, restu sana, restu sini
Aku sudah kelas 3 SMA
Aku harus meyakinkan diriku sendiri
Langganan:
Postingan (Atom)