Selasa, 31 Desember 2013

Luishe dan Cinta di Perempatan Tugu







Gemericik air yang turun dari atap ke pelimbahan belum juga berhenti sejak hujan berhenti sejam yang lalu. Bising suara kendaraan yang lalu lalang di sekitar menambah ramai suasana sore itu. Padahal masih pukul lima sore, tapi langit nampak lebih gelap dari biasanya. Tapi tak berarti sore kali ini tidak ditutup dengan persembahan terakhir sang matahari di senja terakhir di tahun 2013 ini. Meskipun mendung kelihatan pekat, pias-pias cahaya keemasan dari sang surya mampu memancar dengan kuat menembusnya. Lebih terlihat seperti pilar-pilar yang menompang langit agar tak runtuh menimpa bumi. Keelokannya menambah kesegaran suasana kota sehabis diguyur hujan.
Samar-samar ku dengar kumandang azan mengalun dari speaker-speaker masjid di sekitarku. Jenis suaranya beraneka ragam. Bisa ku tebak, dari sisi kananku suaranya agak berat dan serak, sepertinya itu bapak berpostur gagah dengan kain sarung yang melilit di pinggangnya setinggi mata kaki, berpakaian muslim pas badan, dan peci putih bundar seperti orang-orang yang pulang haji. Dan dari sisi depanku suaranya cempreng dan serawutan. Bahkan ku dengar juga suara tawa beberapa orang di sekitarnya. Itu pasti suara anak kecil berpakaian muslim kedodoran, dengan sarung yang dililitkan serampangan, dan peci yang dipakai agak miring. Tentu ia anak yang baru bisa baca doa makan atau bahkan belum fasih mengucap bismillah.
Di sebuah kota kecil, yang belakangan ku dengar bernama Kota Madiun, dua tahun yang lalu aku terlahir sebagai seekor kucing. Sebelum terlahir di dunia, aku sempat berdiskusi dengan Penciptaku tentang wujudku saat di dunia. Penciptaku memberiku berbagai pilihan, mulai dari makhluk dengan tingkat kecerdasan tinggi berjulukan manusia, lalu burung, pohon, sapi, anjing, lebah, bunga, kotoran, awan, angin, kaos kaki bau, kentut, cicak, dan masih banyak pilihan lainnya. Dan aku memilih menjadi kucing. Entah mengapa, tapi dari sini – tempat Penciptaku tinggal – aku sering mendengar bahwa manusia gemar memelihara kucing.  Merawatnya dengan memberinya makan dan minuman tanpa harus bekerja. Apalagi di dunia terkenal dengan beberapa jenis kucing mahal seperti anggora dan Persia.
Penciptaku pun menyetujuinya. Aku terlahir sebagai seekor kucing.
Aih, ku pikir aku akan lahir dari seekor induk anggora atau Persia yang terawat dan tinggal di gedong-gedong dengan sejuta fasilitas seperti yang aku lihat di tempat Penciptaku. Mau makan atau minum apa saja sudah ada yang meladeni. Mau ikan ada. Mau makanan kucing bermerek ada. Mau susu ada. Bahkan mau seekor tikus pun ada yang mau menangkapkan. Alih-alih mendapat fasilitas itu, kenyataannya aku tidak lahir dari induk kucing impor itu. Aku anak kucing kampung yang kurus dan kotor. Terlebih lagi aku tak sendirian, tapi aku punya lima ekor saudara sekaligus! Kami lahir dalam sebuah kardus dekat bak sampah di belakang pertokoan. Kalau tak hati-hati, kami akan jatuh ke sungai di dekat kami. Alhasil, di tempat seperti ini kami harus berbagi tempat, makan, dan tidur.
Nasib malang tak hanya itu rupanya. Beberapa hari kemudian, ibuku mati terlindas mobil yang lewat di depan pertokoan. Tubuhnya hancur tak berbentuk lagi. Gepeng sampai isi perutnya keluar semua. Tubuhnya pun dibuang ke sungai oleh beberapa orang yang tak tahan dengan penampakan menjijikkan itu. Tak lama setelah itu, satu persatu saudaraku mati. Mereka kelaparan karena tidak ada lagi yang memberinya suplai makanan, tubuhnya menyusut makin kurus kering. Sembilan nyawa tak menjamin untuk hidup lama. Kini tinggal aku seekor yang masih hidup. Aku putuskan untuk pergi dari tempat itu dan mencari sumber kehidupan baru. Menyusuri deretan ruko, mall, masjid, gereja. Tak peduli panas atau hujan.
Sampai tibalah aku di sebuah perempatan. Perempatan Tugu namanya. Aku sampai di pusat kota, di nol kilometer Kota Madiun. Hari ini Madiun tak seperti kota kecil biasanya. Semakin malam semakin ramai. Semua warga tengah menanti malam pergantian tahun dengan mengadakan serangkaian acara di luar rumah. Makan-makan, nonton konser music, atau nonton film di bioskop – aku sendiri tak tahu seperti apa itu film dan bioskop. Warga mulai anak-anak sampai orang dewasa seakan tak pernah berhenti beraktivitas malam ini.
Di seberang sana aku lihat sebuah warung yang menyajikan menu seafood. Bau ikan tercium olehku. Aku lapar, tapi sepertinya tak punya cukup tenaga untuk ke sana. Langkahku semakin berat. Ku pikir dengan memiliki empat kaki akan lebih mudah.
Suaraku semakin lemah.
“Meeong.. Meew.. ong..”
Tak satu pun manusia peduli, entah karena suaraku yang tak mereka dengar atau mereka terlalu jijik dengan penampilanku ini.
Nafasku mulai tak teratur. Warungnya sudah dekat, tinggal menyeberang perempatan ini. Tapi pandanganku mulai tak jelas. Suaraku semakin kacau.
“Mee…ooo..ong..Meew..oo..ng”
Ku lihat bayangan ibu dan kelima saudaraku yang mati tragis. Oh, ini terlalu singkat. Aku tak ingin mati muda, Penciptaku!
Tiba-tiba tubuhku rasanya melayang. Ya, inilah waktunya. Penciptaku mencabutku secara perlahan. Tapi…
“ Ya ampun, kucing lucu begini kok ada di luar. Puss.. Puss..”
“ Waa, kamu jantan ya? “
Rupanya ada yang menggendongku. Seorang gadis. Cukup dewasa dari beberapa gadis berkerudung yang baru pulang dari masjid yang biasanya lewat di depan pertokoan tempat tinggalku dulu. Tangan halusnya tak ragu untuk sekedar membelai dan membersihkan bulu-buluku yang kusam dan bau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Ia juga mengenakan kacamata. Ia adalah manusia cantik yang baru aku temui selama aku hidup di kota ini. Cantik menurut ukuran seekor kucing pastinya.
Ia tak sendirian. Ada seorang anak laki-laki yang kelihatan lebih muda darinya. Rambut dengan gaya seperti yang ku lihat di televisi di toko-toko yang aku lewati. Memakai kaos dan celana jins. Ia sedang membawa sesuatu di tangan kanannya. Tangan kirinya tengah memegang dua terompet. Mungkin untuk perayaan tahun baru.
“Mbak, kucingnya kotor. Udah lepasin, ayo kita pulang!”
“Duh, lucu banget ini. Kelihatan lapar, badannya kurus. Digowo bali wae.”
Mereka kakak beradik rupanya. Rupanya mereka baru saja dari seberang membeli kue dan hendak pulang. Sang kakak lah yang rupanya mendengar suaraku.
Setelah terjadi perdebatan kecil di antara mereka, sang kakak yang bersikukuh membawaku pulang dan sang adik yang tidak suka dengan penampilanku, akhirnya aku dibawa pulang ke rumah mereka. Tak tanggung-tanggung, aku direkrut menjadi hewan peliharaan gadis itu juga. Akhirnya Penciptaku mendengar apa yang aku inginkan selama ini.
Hari ini, di malam pergantian tahun ini, aku bertemu dengannya. Manusia baik hati nan cantik yang sudi mengangkatku sebagai hewan peliharaannya.


Sudah hampir setahun aku tinggal di rumahnya. Oh ya, gadis itu Dinda namanya. Ia tinggal berdua dengan David, adiknya. Dinda gemar memelihara kucing rupanya. Ya, saat pertama kali aku ke sini, aku sudah disambut oleh tiga ekor kucing peliharaannya. Kucing anggora putih bernama Keishe dan Meishe, dan seekor kucing kampung sepertiku bernama Duishe. Dan sejak saat itu juga, aku resmi menyandang nama baru, Luishe. Dan sang adik sendiri memilih memelihara beberapa mobil mainan. Mengoleksi lebih tepatnya.
Di rumahnya juga, segala kebutuhanku setidaknya terpenuhi. Setiap hari aku diberi makanan khusus kucing seperti kepingan kue kecil yang bentuknya seperti ikan. Bahkan hari pertama aku disini, aku makan tikus dari tetangga yang membuangnya di dekat rumah Dinda.
Dari keempat kucing yang dipelihara Dinda, mungkin aku yang bernasib kurang beruntung. Dimulai dari Keishe yang menceritakan masa lalunya sebelum dipelihara Dinda.
“ Meong.. Dulu aku tinggal di sebuah kondominium di sebuah kota yang jauh banget. Majikanku seorang pengusaha besar yang mengurus masalah ekspor impor di negara kita. Aku juga sering diajak keliling ke beberapa negara. Kalian tahu Menara Pisa? Colloseum? Tembok Besar Cina? Aku sudah pernah kesana.”
Meishe, kucing anggora satunya tak mau kalah.
“ Meong.. Kalau aku pernah tinggal lama di Amerika. Kalian tahu negara itu kan? Ya, disana aku bisa rasain empat musim sekaligus. Kalian pasti belum pernah ngerasain salju kan. Meong..”
Duishe, walaupun jenisnya sama sepertiku, setidaknya dia lebih beruntung untuk ukuran kucing kampung yang biasa tinggal di gang-gang sempit atau himpitan rumah-rumah kumuh.
“ Meong.. Duishe dulu tinggal di rumah makan yang penuh dengan ikan dan daging. Meong..”
Hey, walaupun begitu entah mengapa dari keempat kucing yang Dinda miliki, akulah yang sering dibawanya kemanapun. Ya meskipun semua kucing secara bergiliran pernah dibawanya pergi, tapi menurut perhitunganku, dalam sebulan ini sudah sepuluh kali aku dibawanya. Melampui rekor Keishe yang menurutku lebih lucu dan, ehm.. pantas.
Pernah suatu ketika teman Dinda bertanya.
“ Din, perasaan lu punya kucing anggora deh. Kok lu malah sering bawa kucing kampung kayak gini sih? Iih…“
Ehm, pertanyaan itu cukup membuatku tersinggung. Tapi sebagai kucing peliharaan Dinda, tak mungkin aku tiba-tiba melompat dan mencakar wajahnya. Sabar Luishe. Tetap anggun dan tenang. Aku hanya bisa tetap diam bermanja-manja di pangkuan Dinda dan menampilkan tatapan mata yang lucu yang ingin dimanja.
Eits, Dinda tentu tak tinggal diam.
“ Ah, emang kenapa? Aku paling suka sama kucing ini. Gak tau kenapa. Hati kita udah pas mungkin. “
Tunggu dulu! Apa yang baru saja Dinda katakan? Dia suka sama… Aku?
Tidak tahu ini wajar atau tidak, tapi aku sebagai seekor kucing kampung yang pernah hampir mati di malam tahun baru ternyata bisa merasakan seperti ini. Kucing bisa jatuh cinta rupanya. Bukan pada sesama kucing, tetapi pada seorang manusia. Seorang gadis anggun nan baik hati bernama Dinda.
Dinda… D-i-n-d-a…
Seharian ini nama itu yang sering ku sebut dalam pikiranku. Mengejanya tanpa henti. Aku juga berpikir dapat bertemu dengannya dalam sosok lain yang lebih layak. Aku menjadi seorang pemuda ganteng yang gagah dan berpenampilan seperti cowok masa kini, mengajak Dinda untuk berkencan di sebuah kafe di Plaza Madiun. Memesan seporsi ikan bakar untuk kita makan berdua dan dua gelas susu. Lalu kami menikah, dikaruniai anak-anak yang tampan dan cantik, lalu hidup bahagia selamanya. Atau Dinda yang menjadi kucing kampung sepertiku. Lalu ku ajak Dinda pergi berkencan dari satu warung makan ke warung makan lain. Makan ikan tentunya. Lalu kami beranak pinak dan hidup bahagia sebagai keluarga kucing kampung. Wuih..
“ Apa? Dinda? Kamu suka Dinda?” kata Duishe yang tiba-tiba, mengagetkanku.
“Heh? Apa? Apa? “ kataku.
Aku sendiri kaget saat Duishe tiba-tiba muncul dan mengetahui apa yang aku pikirkan.
“ Sadar dong. Kamu siapa, Dinda siapa. Kalian gak bakal bisa bersama. Ngerti? “ Kata Duishe. Lalu Duishe meninggalkanku sendirian.
Benar juga kata Duishe. Kita nggak bisa hidup bersama layaknya sepasang manusia atau sepasang kucing yang saling mencintai.
Tapia apa salahnya memendam rasa cinta dan suka ini?

­
Pagi itu, rumah Dinda kelihatan lebih ramai. Bukan karena kami para kucing yang membuat kegaduhan. Tetapi kami kedatangan tamu. Seorang tamu dengan seekor anjing. Anjing? Demi apa rumah Dinda yang seperti surga bagi kami ini kedatangan seekor hewan musuh bebuyutan kami bangsa kucing! Tamu itu saudara Dinda yang lama tinggal di luar kota dan akan menetap di rumah Dinda. Dan itu artinya, kami akan berbagi tempat dengan anjing itu.
Awalnya kami cukup berbesar hati menerima keberadaan anjing itu, yang belakangan kami ketahui bernama George. Tapi kami mulai sedikit…ya sedikit tidak suka dengannya semenjak sebuah peristiwa di suatu sore saat Dinda dan Dandy, saudaranya itu akan pergi jalan-jalan dengan mengendarai mobil. Sejak saat itu mereka sepakat hanya membawa George saja, karena tidak mungkin kucing dan anjing di tempatkan dalam satu mobil. Itu juga karena Dinda yang tidak enak hati pada Dandy.
Sore itu juga, Keishe sebagai tetua peliharaan di rumah Dinda mengumpulkan kami di ruang dapur membahas masalah ini.
“ Meong.. Ini tidak bisa dibiarkan. Kedudukan kita sebagai hewan kesayangan Dinda bisa terancam dengan keberadaan George di rumah ini, “ kata Keishe sambil mencakar-cakar lantai.
“ Iya, aku sependapat. Suplai susu untuk kita juga berkurang, karena harus dibagi dengan George. Ya walaupun nggak setiap hari juga, sih. Meong… “ kata Duishe.
Meishe yang sedari tadi bermain-main dengan gulungan benang wol datang menghampiri kami dan berkata, “Kita harus melakukan sesuatu. George dan Dandy harus segera keluar dari rumah ini. Meong.. Ada usul bagaimana cara mengusir mereka?”
“ Sepertinya aku belum mendapat ide, bagaimana dengan kalian? “ kata Keishe.
“ Meong… Aku belum ada,” kata Duishe.
“ Aku juga belum ada, Meong..“ kata Meishe.
Mereka mondar-mandir sambil memutar bola mata mereka kesana kemari. Dan mereka berhenti, di depanku. Menatapku yang sedari tadi hanya duduk diam memandang mereka.
“Luishe, mungkin kamu ada ide cemerlang? Meong.. Ayolah, demi kelangsungan hidup kita di rumah Dinda. “ kata Meishe kepadaku.
“Ehm.. Meong… Aku sendiri juga belum memikirkannya, kawan.” Kataku.
Aku sendiri lebih senang memikirkan Dinda yang sedang berjalan-jalan. Hmm, biasanya aku yang diajaknya berjalan-jalan di mall. Melewati beberapa toko baju dan sepatu kesukaannya. Lalu diajak mampir makan. Kemudian aku diajak ke pet shop untuk merawat tubuhku. Perasaan yang tak biasa antara kucing dengan majikannya. Oh, Penciptaku. Rupanya ini rahasia mengapa aku dilahirkan dari seekor induk kucing kampung yang hidup di bak sampah pertokoan. Inilah mengapa saat itu ibu dan kelima saudaraku satu persatu mati. Inilah mengapa aku ditempatkan pada Perempatan Tugu saat malam tahun baru itu, hanya untuk bertemu Dinda. Untuk merasakan waktu-waktu berlalu bersamanya. Untuk merasakan perasaan yang tidak wajar dan membuatku susah tidur. Oh Penciptaku! Sayangnya perasaan itu terhalang dalam posisi kami yang tidak memungkinkan. Tidak mungkin ada hubungan yang lebih serius di antara kami selain kucing dan majikannya. Selain peliharaan, tidak ada status yang lain.


Pagi itu kami melakukan diskusi lagi.
“ Meoong!!! Apa-apaan ini! Dinda akan membuang salah satu dari kita demi seekor anjing itu? Tidak bisa dibiarkan ini. “ Meishe kelihatan sangat geram dan marah.
Rupanya masalah finansial yang terjadi di rumah Dinda penyebabnya. Harga susu dan makanan kucing yang semakin mahal. Terlebih lagi menyediakan susu tambahan dan makanan anjing untuk George. Dinda, David, dan Dandy sebelumnya telah membicarakan masalah logistik peliharaan di rumah mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk memilih hewan peliharaan mana yang tetap dipertahankan. Bukan secara langsung dibuang ke tempat sampah atau ke pasar. Tapi di jual atau diberikan pada orang lain. Tapi tetap saja ini tidak adil untuk kami bangsa kucing.
Kami para kucing pagi itu tak sengaja mendengar percakapan mereka.
“ Kak Dinda, kucing kakak kan udah besar-besar. Yang anggora dijual masih laku lo, kak. Oh ya, temen-temenku juga ada yang hobi pelihara kucing di rumahnya. Bisa tuh dikasih ke temen-temen David, “ kata David memberi usul pada diskusi mereka bertiga itu.
Dinda menolak dengan keras, “Hush, enak aja! Aku sayang banget sama mereka. Kamu tau kan, aku mulai pelihara kucing sejak aku kecil. Aku juga sering bawa mereka kemanapun aku pergi.”
“ Kalau George nggak mungkin deh. Soalnya ini sebenarnya punya adikku. Dia nitipin ke aku selama dia pergi ke luar negeri, “ kata Dandy yang menurutku semakin memperpanas keadaan kami.
Dan Dinda yang tampak pasrah dan kelihatan tidak enak hati mempersalahkan Dandy dan George menjawab, “Ya sudah, terserah kalian saja mana yang terbaik. “
Alhasil, kami langsung pergi menuju ruang rahasia. Gudang perabotan bekas rumah Dinda menjadi ruang yang cukup rahasia untuk kami berdiskusi.
Keishe sebagai tetua memulai diskusi.
“ Kalau begini terus, mau tidak mau kita harus melakukan serangan pada Dandy dan George. Mereka harus kita buat tidak nyaman tinggal disini.”
“ Meong.. Tapi gimana kalau kita yang ternyata disalahin dan akhirnya kita semua dibuang?” Tanya Meishe.
“ Meong, manusia sama saja rupanya. Kalau suka dipuja-puja, kalau sudah tak suka dibuang begitu saja. Meong..” Duishe menyahut.
Meninggalkan Dinda? Terdengar seperti mimpi buruk buatku. Aih, jangan sampai pisahkan kami, Penciptaku. Aku tak mau kembali hidup di dalam kardus belakang pertokoan. Aku tak mau terlunta-lunta dan mati kelaparan seperti kelima saudaraku dulu. Aku tak mau sekarat dan hampir mati kelaparan seperti waktu malam tahun baru di Perempatan Tugu itu.
“ Luishe? Luishe? Hey, apa kamu setuju?” Tanya Duishe mengagetkanku.
“eh, ya apa? Setuju apa?” tanyaku.
“ Jadi begini. Kita akan melakukan serangan besar-besaran ke Dinda, David, Dandy, dan George tentunya. Tujuannya ya bikin Dandy dan George nggak betah tinggal disini dan menyadarkan Dinda dan David kalau kita masih layak tinggal disini. Gimana?” kata Meishe.
Aku terdiam. Sebenarnya aku suka dengan rencana ini. Mengusir Dandy dan George. Tapi aku tidak setuju jika harus melibatkan Dinda sebagai salah satu target korban serangan kita. Aku tidak mau Dinda terluka. Tidak.
“Jangan bilang kamu masih suka sama Dinda!” kata Duishe tiba-tiba.
“ Luishe! Berani kamu melakukan hal terhina seperti itu. Apa kamu tidak dengar apa yang akan Dinda lakukan pada kita. Dasar bodoh kamu! “ kata Keishe yang kelihatan sangat marah.
“ Sudah. Begini saja. Aku tak mau tahu tentang cinta bodohmu pada Dinda itu. Yang penting kita akan menyerang mereka nanti malam saat mereka tidur. Jadi mulai persiapkan mental dan tubuh kalian. Oke?” kata Meishe yang juga mengakhiri pertemuan kami kali ini.
Tidak. Jangan Dinda menjadi korban juga. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku yang paling muda disitu setidaknya harus patuh pada yang lebih tua. Kucing juga punya adab seperti manusia.


Pukul sebelas malam tepat kami berkumpul di dapur. Mempersiapkan penyerangan besar-besaran kami. Sebelumnya kami mengadakan semacam makan bersama di kandang milik Keishe. Penyerangan kali ini tidak boleh gagal sedikitpun. Target kami tetap Dandy dan George. Besok pagi mereka harus keluar dari sini.
Tapi tidak adil rasanya kalau Dinda juga harus ikut menjadi korban.
Sebelum penyerangan dimulai, Keishe berkata pada kami.
“Demi kelangsungan hidup dan kebutuhan kita di rumah Dinda, mari kita rusak ketentraman hidup Dandy dan George malam ini. Mereka berdua harus pergi besok pagi!”
Kata-kata Keishe barusan hanya kami tanggapi sebagaimana kucing biasanya.
“Meong.. Meong.. Meong…”
Malam itu, Dinda, David, Dandy dan George tidur di ruang tengah. Mereka kelelahan karena habis nonton film di bioskop. Dinda, David, dan Dandy tidur berjajar di atas kasur yang sengaja mereka siapkan di ruang itu. George tidur di dekat pintu.
Kami pun berbondong-bondong pergi ke ruang tengah. Mata kami cukup bisa diandalkan dalam suasana gelap rumah Dinda malam itu. Mengendap-endap secara perlahan. Hingga akhirnya kami sampai di ruang tengah.
Ku lihat Dinda tidur di samping David. Rambut panjangnya tergerai menutupi bahu dan dadanya. Saat tidur ia kelihatan lebih cantik, terlebih karena ia tak memakai kacamatanya. Tak sampai hati sebenarnya aku menyerang Dinda. Dan jika bisa aku memilih, aku harusnya datang menghampirinya dan membangunkannya. Menyelamatkannya dari serangan membabi buta para kucing peliharaannya.
Tap.. Tap.. Tap..
Perlahan kami berjalan, kami berpencar di setiap sudut ruang itu. Aku sedikit gugup saat melewati George. Anjing diberkahi penciuman serta pendengaran yang tajam. Dan itu terbukti. George terbangun.
“Guk.. Guk.. Guk..” gonggongan George memecah keheningan malam. Dinda, David, dan Dandy sontak terbangun.
“Serbu!!!!” Kata Keishe..
“Meong.. Meong… Meong…” sahutku, Meishe, dan Duishe.
Kami berpencar, lari kesana kemari. Naik sofa, naik televisi, mengobrak-abrik isi lemari, memecahkan guci, menabrak kesana kemari. George juga ikut lari kesana kemari mengejar kami. Tapi dia kalah jumlah. Dan tak ada satupun dari kami yang mampu ia tangkap.
“ Maling!!! Maling!!!” teriak Dandy ketakutan.
“Hidupin lampunya!” kata David.
“ Mati lampu! Ini bukan maling, kucing-kucingmu menggila! “ teriak Dandy lagi.
Dinda yang ketakutan langsung membuka pintu rumah. David dan Dandy mengambil tongkat golf untuk memukul mundur kami. Aku dan ketiga kawanku cukup terdesak. Tapi kami berhasil menyerang Dandy, mencakar kaki kanannya sampai berdarah. Dan..
Bugh! Bugh! Bugh!
Tubuhku terkena pukulan tongkat golf dari Dandy. Tak hanya itu.
Bugh! Bugh! Bugh!
Tongkat David juga telak memukul kepalaku sampai agak pusing. Tubuhku yang kecil setidaknya mampu kesana kemari dan cukup kuat ternyata menghadapi pukulan itu.
“ Luishe, bawa mereka keluar!” teriak Keishe.
Aku pun menuju keluar rumah. Dandy dan David masih mengejarku sambil membawa tongkat golf. Dinda juga mengikuti dari belakang. George masih sibuk mengurusi ketiga temanku.
Kecepatanku makin ku tambah saat ku lihat Dandy semakin cepat berlari. Dandy? Lalu dimana David dan Dinda?
Ternyata mereka mengambil jalan pintas untuk menghadangku di depan. Aku terdesak, tubuhku entah sedikit lelah. Namun secara tidak langsung aku berhasil membawa Dinda agar tak ikut menjadi korban ketiga temanku. Nah, sekarang tugasku menyelesaikan Dandy. Ada persimpangan jalan di depan sana. Akan aku bawa ia kesana, biar Dandy tertabrak.. Haha
Dengan lihai aku hindari pukulan David dan Dandy. Dandy yang terpancing emosi mengejarku dengan cepat. Dan Dinda mengikutiku di depan Dandy. Dan tibalah kami bertiga di persimpangan jalan itu. Ku dengar truk berjarak 100 meter melaju dari belokan menuju ke arah ini. Dan pas di jalan itu ada Dandy dan… Tunggu! Tak seharusnya Dinda disana.
Hingga akhirnya..
Brugh..
Dinda tertabrak truk yang melaju sangat kencang itu. Tubuhnya terlempar beberapa ratus meter dari tempat tabrakan. Kepalanya mengeluarkan banyak darah. Dandy juga ikut tertabrak, tapi dia tak separah Dinda.
Dan beberapa menit kemudian, Dinda meninggal.


Malam tahun baru kali ini aku hanya ingin tidur saja. Di tempat pertama kali aku dan Dinda bertemu, di Perempatan Tugu Kota Madiun. Menikmati indahnya malam pergantian tahun dan langit yang masih dinaungi mendung. Dan akupun tertidur pulas.

Malam itu aku bermimpi. Tiba di sebuah tempat yang sejauh mata memandang, hanya warna putih yang terlihat. Damai, tentram, dan penuh cinta.
“Dimana aku?”
Dan tiba-tiba ku dengar suara seorang gadis yang pernah ku kenali suaranya.
“Dinda?” kataku.
Dan dari
“Iya, ini Dinda Luishe. Apa kabar? Ayo ikut aku jalan-jalan.”
Dan tangannya pun menggandeng tanganku. Kami berjalan-jalan saat itu, sebagai sepasang kucing. Mari, Dindaku. Kita susuri Kota Madiun malam ini. Singgah di Perempatan Tugu, tempat kita pertama bertemu seperti malam perayaan tahun baru saat itu.

0 komentar:

Posting Komentar