Kamis, 31 Oktober 2013

Menunggu dalam Hujan



Selasa sore di atap sekolah setelah bel pulang. Ada kamu yang sekarang sedang duduk termenung menunggu hujan reda. Memikirkan peristiwa-peristiwa beberapa waktu silam. Membayangkan hal-hal indah yang terlah terjadi di masa lalu. Membuat rencana-rencana gila untuk kamu lakukan di waktu selanjutnya. Tapi ada satu yang sedang kamu renungkan sekarang. Ada yang kurang dengan kamu sekarang ini. Rasanya tidak lengkap. Dulu kamu yang tidak sendirian duduk di atap sana. Dulu kamu yang punya tempat untuk berbagi. Kamu yang dulu tidak sendirian menghadapi dunia dan segala kroni-kroninya. Membuatmu risau. Tidak tenang. Tidak siap kalau harus menghadapi sendirian.

Lalu kamu mengambil telepon genggam di sakumu. Mulai mengetik sesuatu di situ. Sekedar mengirim pesan singkat untuk dia. Menanyakan kabar tentang dia. Meluapkan seluruh tanya, perhatian, dan perasaanmu dalam pesan singkat yang kamu kirim. “Apa kabarmu? Sedang apa kamu sekarang? Apa hujan kali ini menyenangkan?” Berharap dia akan membalasnya juga, berharap tanpa sedikitpun keraguan dalam pesan balasan darinya. Berharap dia meluapkan segala perasaan dan isi hatinya juga. Atau sekedar menanyakan kabarmu pada hujan kali ini. “Baik, kamu? Apa hujan kali ini menyenangkanmu juga?

Tiba-tiba kamu berhenti. Ah, terlalu panjang pertanyaanmu ini. Lalu kamu mulai menghapus kalimat terakhir. Berpikir, apa mau dia membalas pesan darimu. Karena kamu merasa pesanmu itu terlalu posesif. Menodong segala aktivitasnya di hujan kali ini. Apa penting aku menanyakan tentang hujan kali ini padanya? Apa hujan pertama tahun ini begitu berarti di matanya? Timbul segala macam ketakutan dalam pikiranmu. Takut pesanmu diacuhkan. Takut pesanmu dibaca oleh teman-temannya lalu dia ditertawakan. Takut ina... Takut ini... Takut ita... Takut itu...

Tapi rasanya hujan kali ini sangat penting untukmu. Karena kalian pernah menikmatinya tahun lalu, hujan pertama di tahun lalu. Karena dalam hujan kalian pernah menyatukan asa, merajut mimpi, membangun rasa bersama. Menatap lembut mendung-mendung di angkasa. Butir-butir hujan yang turun seakan memutarkanmu sebuah rekaman hidup. Memori bersama. Rasanya abu-abu. Datar. Rasa rindu dan kesal saling menghilangkan. Kenangan bahagia dan ironi kenyataan yang terjadi padamu sekarang seakan terpampang nyata. Membawamu pada satu kepastian. Bahwa semua juga akan berlalu begitu saja.

Lalu kamu menghapus kalimat sebelumnya. Seharusnya kamu tahu, apa yang sedang dilakukannya sekarang. Kalian tinggal dalam satu kota. Satu kompleks. Di jalan yang sama. Nomor rumahmu 10, sedangkan dia 8. Cuma beda dua angka, tapi rasanya sangat jauh sekali. Rasanya berjarak, ada halangan besar di antara kalian. Kalian belajar di sekolah yang sama. Ya, walaupun kalian terpaut satu angka tahun dalam tanggal lahir kalian.  Mungkin sistem kelas dan pola pembelajaran ini yang memisahkan kalian. Padahal setiap hari kamu lewat di depan kelasnya. Padahal dia selalu terlihat olehmu dari luar. Karena tempat duduknya di baris ketiga dari pintu. Kamu bebas melihatnya dari luar. Hanya sebagai penonton. Pemimpi.
 
Kalian terlalu sibuk dengan rutinitas masing-masing. Pelajar, pemuda, pemimpi, penggosip, pelari, dan pe pe lainnya. Hanya keberuntungan yang mempertemukan kalian lagi. Menghitung peluang adalah salah satu yang mungkin untuk kalian kerjakan sekarang. Ah, bukan kalian. Mungkin cuma kamu saja yang sedang melakukannya. Apalagi sebutan yang pantas untukmu? Angan-angan yang bertepuk sebelah tangan?

Akhirnya kamu memutuskan untuk menghapus semua pesan singkatmu. Semua rencana batal. Tidak ada plan A, plan B, dan plan tanpa isi lainnya. Kamu mulai menyerah pada segala ketakutan dan kemungkinan yang terlintas dipikiranmu. Benteng terakhirmu telah digempur oleh bayang-bayang tentangnya yang tak bisa kamu tangkap. Segala label pecundang mulai kamu tempelkan sendiri pada perilakumu, sikapmu, ucapanmu.

Di posisimu sekarang, di atap sekolah, kamu duduk termenung. Menunggunya keluar dari kelasnya. Di posisimu sekarang adalah tempat strategis yang mampu kamu tempati. Bebas menatapnya. Melihat langkah kaki pertamanya saat keluar dari kelasnya. Melihatnya menuntun sepeda, keluar gerbang, lalu pulang ke rumah. Cinta memang tidak bisa diukur dengan akal pikiran siapapun, entah Einstein sampai Kopral Jono sekalipun. Cinta langkah kaki. Begitulah kamu menyebutnya.

Entah sudah berapa menit, berapa jam kamu menunggunya. Kenapa dia tidak keluar? Atau jangan-jangan dia sudah pulang duluan?

Rabu, 16 Oktober 2013

Jendela dan Pintu

Jendela kamarnya tidak akan terbuka
Karena ia tak tahu kau di luar sana
Kau menunggu ia menyadarinya, berharap
Meski sebatas bayang yang nampak

Pintu rumahnya akan selalu terkunci
Karena kedatanganmu tak diketahui
Apalagi sekedar memergokimu di sana
Karena jendela kamarnya tidak terbuka

Perasaanmu sebatas pesan pada sang angin
Berharap terbawa butiran debu, kesana
Tapi mata manusia terlalu sensitif terhadap debu
Reflek menutup mata, kau tak bisa masuk

Untuk apa perasaanmu selama ini
Berharap lebih sama bahayanya dengan memberi harapan

Tapi namanya cinta
Siapa yang bisa memikirkan cinta secara logis?

Sajak Witri

Witri hanya seorang gadis

Sore hari di tepian jalan

Menjadi semut di lautan gula

Mengais manisnya hidup di remah-remahnya


Kadang Witri menjadi gadis

Saat senja di tepi rel kereta

Menanti datangnya cinta dari barat

Atau melepas cinta menuju timur


Namun Witri hanya seorang gadis

Di azan subuh saat pagi buta

Bersimpuh di depan kios-kios pasar

Mencari hidup, memanjangkan nyawa


Kenyataannya Witri seorang gadis

Siang itu berdiri di atas menara pemancar

Tertawa, berteriak, tertawa lagi

Lalu loncat dari atas sana