Minggu, 21 Desember 2014

[...]

Mungkin mengasyikkan ya jika kamu pergi mencari keasyikkanmu sendiri. Tapi tak pernah kamu sadari, ada seseorang di sini yang ingin berbagi keasyikkan denganmu.

Kata

Tuhan, bila ada orang lain
Segerakan Kau kirimkan ia
Pandu menujuku
Bantu ia dengan segala isyarat, tanda

Tuhan, bila ada orang lain
Selamatkan aku
Dari dalamnya sepi, kecewa
Gersang kerontang

Jangan jadikan sendiri ini abadi
Aku ingin bersamanya
Segera

Sabtu, 29 November 2014

Selamat Ulang Tahun

Saya tidak pandai membuat kata-kata yang bagus. Apalagi untuk kamu, sama sekali saya tidak tahu selera kamu seperti apa (haha). Tapi saya punya satu prosa bagus tentang arti bertambahnya usia. Lewat prosa ini semoga kamu bertambah bijak di usiamu yang ke-19 tahun ini.

Jembatan Zaman

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segala.

Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik?

Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.

Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.

Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.

Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.


oleh Dewi "Dee" Lestari  

Kamu tahu, ini salah satu prosa favorit saya dari karya-karya yang dihasilkan Dee. 
Haha, akhirnya selamat ulang tahun, Biq. Barakallahu fii umrik.

Minggu, 12 Oktober 2014

Welcome to the New Fakhrurrozi (cuap-cuap)

Judul di atas maksudnya apa?

Ah, jadi begini. Setelah sekian lama saya sibuk dengan urusan masa depan saya (ceritanya saya lagi sibuk dalam masa transisi dari SMA ke dunia perkuliahan) dan saya resmi masuk dalam dunia mahasiswa (Alhamdulillah di kampus impian saya), dan akhir-akhir ini saya jadi bingung untuk menulis sesuatu yang biasa melintas di otak dan berhembus di sekat-sekat imajinasi, sekarang adalah waktu untuk menjadi baru.

Baru? Iya baru.

No more tears (ah nggak cengeng saya itu), No more drama (tapi sering liat drama Korea).

Saya mau terlahir kembali dengan menulis. Saya rasa sudah kehilangan sahabat yang selalu setia mendengar celoteh-celoteh saya yang kurang penting, tapi dengan sigap dan bijak menerima, menghibur, dan menuntun saya pada hal-hal positif. Itulah menulis. Itulah membaca.
Saya juga tidak mau mencap diri saya sebagai "mahasiswa kurang produktif" yang menghabiskan waktu luang untuk mengendap di kamar kos. Do positive thing! Let's write something, let's read something!

Kenapa menulis? Kenapa membaca?

Itu yang masih menjadi misteri... (huhuhu~...)

So, welcome to the New Fakhrurrozi.

Sabtu, 17 Mei 2014

Lupa

Kita lupa kita,
Siapa lupa siapa

Kata kau lupa aku apa ada
Kata kau lupa aku ada kau
Kata aku lupa kau di mana ada
Kata aku lupa kau ada aku
Kata aku kau lupa,
Kata kau aku lupa,
Kata kita lupa kita
Aku lupa kita,
Kau lupa kita,
Kita lupa kita,
Siapa lupa siapa

Selasa, 13 Mei 2014

Siapa

Kita perlahan tahu siapa,
Siapa yang mencari siapa,
Siapa yang merindu siapa,
Siapa yang butuh siapa,
Siapa yang menunggu siapa,
Siapa yang menjaga siapa,
Siapa yang menemani siapa,
Siapa yang pergi dari siapa,
Siapa yang kembali ke siapa,
Kau siapa,
Aku siapa.

Selasa, 06 Mei 2014

Doaku Malam Ini (1)

Tuhan, bantu kami
Menjaga ikatan persahabatan adalah amanah
Biarlah kami saling menjaga karena-Mu
Dorong kami saling memberi karena-Mu
Bimbing kami menjadi manusia-Mu
Hakikat sebenar-benarnya manusia di bumi

Bantu kami
Saling rasa merasa
Bantu kami
Tetap di koridor-Mu

Malam (1)

Ku kirimkan kecupan
Buat adindaku di sana
Penjaga dalam irama sepanjang malam
Selagi kanda terjaga dalam gelap

Bukan rayuan, tapi kenyataan
Bahwa arti malam adalah merindu
Di bawah tabur bintang kota bernama tulus
Terdengar sayup-sayup nyanyian berjuluk impian

Adindaku yang terlelap dalam damai
Adakah di sana aku berlari menggandengmu?

Sabtu, 03 Mei 2014

Panggil Aku


Pernahkah sekalipun ku dengar,
"Hei kawan! Ayo kemari!"
Sekali, untuk malam ini saja
Sekali saja, kawan. Panggil aku.

#Untuk hati yang temaram di waktu yang salah

Suratku Malam Ini untuk Sahabatku,


Tiada maksud ku berburuk sangka, menuntutmu melakukan sesuatu, ataupun sedikit berujar tak tahu syukur ke hadirat ilahi. Ini hanyalah kata demi kata yang sebenarnya ingin ku sampaikan, beberapa ingin terwujud. Namun aku tahu ini tidak pantas dan aku tidak enak hati padamu. Jadi maafkan aku sebelumnya.

Aku malu mengatakannya. Aku malu memintanya. Tapi tak apalah, aku hanya berani menuliskannya di sini.

Kawan, aku ingin seperti mereka, yang bahagia satu sama lain menikmati kebersamaan dengan orang-orang yang ia anggap sahabat. Aku ingin seperti mereka, yang selalu menjadi pilihan pertama di atas teman-temannya. Aku ingin seperti mereka, saling percaya dan peduli. Pergi ke tempat-tempat keren dan asik bersama. Menikmati waktu-waktu bersama pastilah menyenangkan.

Suatu hari saat aku tahu mereka sedang berpergian ke suatu tempat untuk sekedar meluangkan waktu bersama, aku selalu berharap itu adalah kita, kawan. Ya, kamu tahu kawan, kamulah yang selalu pertama kali aku ajak. Aku sejak dulu ingin mengajakmu ke tempat-tempat yang keren dan menyenangkan. Tapi kamu sering menolaknya, bahkan selalu mengatakan tidak bisa untuk itu. Atau ketika kamu pergi ke suatu tempat, mengajak teman-temanmu yang lain dan aku tak pernah kau ajak sekalipun, aku tidak bisa melakukan apapun. Aku tak bisa memintanya langsung padamu, mana mungkin! Ya, aku harus berbaik sangka untuk itu. Mungkin kamu sedang ada urusan yang lebih penting dan lebih mendesak. Aku selalu bisa menerima itu, aku selalu mencoba paham.

Ketika mereka melakukan berbagai hal-hal yang menurutku sangat baik dan berguna untuk orang-orang di sekitar mereka, aku selalu ingin kita yang melakukannya. Bersama menyebar kebaikan dan manfaat bagi orang banyak. Pergi ke panti asuhan, berbagi keceriaan dengan anak-anak di sana. Atau membagikan beberapa bungkus nasi untuk orang-orang yang tidak beruntung di pinggir jalan.

Kawan, aku mungkin tidak bisa menjadi seperti teman-temanmu kebanyakan. Aku ini payah, maafkan aku. Tapi itu memang benar kan? Maafkan aku, sering aku merasa seperti sendiri di dalam keramaian ini. Malam ini pun aku merasakannya lagi, padahal mungkin ini adalah kali terakhir kita bertemu. Kita bersama. Lebih baik aku pergi menepi saja, dan lebih baik kamu tidak mengetahuinya. Kau lihat kan, betapa bahagianya teman-teman kita itu. Mereka bisa berfoto bersama, bercanda dan tertawa bersama. Ah, andai saja itu kita kawan...

Aku hanya ingin satu waktu, kawan. Satu waktu saja, sekali itu aku tak pernah meminta lagi. Aku tak tahu kamu menganggapku seorang sahabatmu atau tidak, tapi aku hanya ingin kamu mewujudkan keinginan sederhana dari orang yang menganggapmu seorang sahabat. Tapi kau harus paham, ini adalah suatu hal yang sulit untuk terjadi. Tak apalah kawan, aku mengerti.

Dan sebagai kata-kata penutup, aku hanya ingin kamu tahu. Di setiap doa setelah salatku aku selalu meminta kebaikan dan kesuksesan bukan hanya untukku sendiri, tapi untuk kamu juga, untuk kita kawan. Jadilah manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak yang mulia. Jangan pernah sekalipun tinggalkan salat lima waktu dan tegakkan ibadah-ibadah wajib dan sunnah lainnya. Hormat dan sayangi orang-orang di sekitarmu. Ayahmu, Ibumu, saudara-saudaramu, teman-teman barumu di kemudian hari. Jagalah kesehatanmu selalu. Tetap semangat dan kreatif dalam menjalani hidup ke depan.

Terima kasih kawan, untuk waktumu selama beberapa tahun kita saling mengenal. Semoga kamu selalu diberi kebaikkan dan kebahagiaan olehnya.

Salam,

Sahabatmu.

Jumat, 25 April 2014

Ku Sampaikan dalam Musim Hujan



Ku sampaikan rindu cintaku
Kepadamu yang ada di seberang
Lewat kelopak-kelopak bunga angsana yang berguguran
Kuning cerah di atas aspal yang hitam

Ku sampaikan salam cintaku
Lewat tetes-tetes embun di bulan Oktober
Dalam kebisuan dan keheningan
Kesegaran dalam perbatasan kemarau

Kita tidak akan pernah seindah bunga angsana dan musim hujan
Atau lengkungan pelangi di ufuk cakrawala
Tapi biarkan kita menjadi sebuah bibit yang tumbuh
Mencari makan dan cahaya untuk hidup

Kau tahu betapa istimewanya hari itu
Seperti istimewanya kau, disini

Kita akan berlarian dalam hujan, membuang payung kita
Tertawa, bercanda, sampai basah kuyup baju kita

Dan kita akan saling tersenyum satu sama lain
Atau saling bertanya, apa kau menikmati hujan

Mungkin kita juga akan berteduh di suatu tempat
Sembari menjulurkan tangan kita keluar, membiarkannya basah

Dan kita akan saling tersenyum satu sama lain
Atau bersama menatap hujan

Karena kau melihat aku dalam hujan
Karena aku melihat kau dalam hujan

Hujan Ku Berduka



Hanya setampuk lara dan sayatan-sayatan perih di jiwa
Dan tubuh yang ikut memendam duka yang mendalam
Sirna sudah harapanku
Pupus, kandas, terbengkalai

Aku tak akan mampu
Menatapmu dalam hujan seperti sedia kala
Menafsirkan setiap bait-bait nafasmu
Mendengar semua canda tawamu

Dalam hujan kau menghilang
Jejak yang menghilang dalam hujan
Tak ada langkah kaki, remah-remah, peta
Aku kehilangan arah menujumu

Seluruh keberanianku runtuh dihadapanmu
Hari ini saat hujan hadir diantara kita
Aku hanya bisa berpijak pada satu tempat
Yaitu pada sakit hati darimu, seolah penuntunku kepadamu

Seluruh tubuhku basah, dingin, dan semakin dingin
Gemeletuk gigi yang semakin keras
Olehmu yang semakin dingin
Dan hujan yang datang di antara kita

Aku hanya hati yang terdidik dalam hujan yang berduka
Dalam dinginnya temperatur dan sepinya jalanan
Yang berteduh dalam permainan kata-kata semu
Dan gelapnya langit karena berkuasanya mendung di sana sini

Tiada hal lain yang aku harapkan saat ini
Selain jejak-jejakmu dahulu yang bisa aku ikuti
Remah-remah yang kau tinggalkan untukku
Bukan duka yang semakin merajai sanubariku

Dan sekarang aku hanya bisa terpaku
Melihatmu dari jauh lewat jendela rumahku yang terbuka
Tiada keberanian lagi aku menghadapimu di sana
Aku hilang navigasi, duka yang mendalam

Hujan ku sedang berduka
Karena hati

Adinda

Kau Adindaku yang hilang
Yang pernah pergi untuk waktu yang lama
Berlalu tanpa kenal rindu dan ditunggu
Berkali-kali buatku meragu

Kau Adindaku yang lupa
Tak tahu mengabarkan diri
Tak kenal kata berjumpa dan berpisah
Tak pernah diam, sesuka hati

Kau Adindaku
Yang sekarang berlari ke arahku
Kini ia tahu arah kembali
Kini ia kenal kata bertemu

Kau Adindaku
Kembali, menjadi Adindaku

Potongan Kue

Hari yang terlewat dengan begitu sederhana.
Hari itu kami merayakannya dengan sederhana.
Tanpa pesta, tanpa kue, tanpa lilin.

Tapi dipertambahan umurmu itu,
ku persembahkan hadiah kecilku yang lain.

Aku tak bisa bermewah-mewah.
Atau datang beramai-ramai seperti tahun-tahun lalu.

Sebuah hadiah ku berikan untukmu
Sebuah potongan kue yang lain

Untuk sahabatku KZ
Bertambahlah baik

Rabu, 23 April 2014

Pergi

Apabila sampai pada ujung penat tanpa rasa
Akankah ia hendak sirna segera
Ataukah menunggu dalam diam tiada berhingga
Sebagai ujian atas segala doa dan sabar di dada

Silahkan angin menghempasku
Ku izinkan walau tak seberapa
Hanyutkan aku dari sini
Ku tak suka menunggu

Selasa, 14 Januari 2014

Melankolis



Sejenak saat kota kita mengumbar romantisme lagi
Seperti uap keramahan dan rasa hangat yang terbang
Melebur dalam deru nafas tiap hari manusianya
Mengalir selembut angin, seindah bahasa alam

Sudut mata itu berbahasa lagi
Mengumbar setetes kesedihan yang terlalu dalam
Bola mata bulat kecoklatan itu berbicara
Karena ada sebuah tanya dalam jiwa yang mengadu

Ragawi ingin pergi,
Kediaman sukma mendadak berontak
Ketika hanya iman satu-satunya pembendung andal
Ketika hanya kuatnya tali keikhlasan sebagai tempat bergantung

Tulus, ikhlas, ridha
Kata yang terucap tak selamanya sama dalam jiwa
Sebuah ketegaran yang nampak di permukaan
Tanpa kita ketahui kerapuhan yang mengendap di dasar

Kita perlu menjadi karang
Tak banyak bicara
Begitu tenang dan sederhana
Menjadi kokoh di tengah ombak lautan

Kita tak pernah tahu
Begitu dalamnya samudera hidup
Tetapi aku tetap yakin
Kita mampu mengambil mutiara terbaik darinya

Rabu, 01 Januari 2014

Surat Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck





Pergantungan jiwaku,Zainuddin!


Ke mana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula daripadaku, Zainudin.
Apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun terus memupus namaku dari hatimu!

            Sungguh besar sekali harapanku hendak hidup dekatmu. Akan berkhidmat kepadamu dengan segenap daya dan upaya, supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap kepada dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita, sebab engkau sendiri yang menutupkan pintu di hadapanku: Saya kau larang masuk, sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yang telah sekian lama bersarang didalam hatimu. yang selalu menghambat-hambat perasaan cinta yang suci. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam, engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri tergantung. Sebab itu percayalahlah ,Zainudin. bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa kan kecelaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya percaya bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.

            Zainudin! Kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga beruntung, percayalah!

            Di dalam jiwaku ada suatu kekayaan besar yang engkau sangat perlu kepadanya, dan kekayaan itu belum pernah kuberikan kepada orang lain, walaupun kepada Aziz, ialah kekayaan cinta. Saya tahu bahwa engkau kekurangan itu. Saya merasa bahwa saya sanggup memberimu bahagia pada tiap-tiap saat hidupmu, yang tiada seorang perempuan agaknya yang sanggup menandingi saya di dalam alam ini dalam kesetiaan memegangnya, sebab sudah lebih dahulu digiling oleh sengsara dan kedukaan, dipupuk dengan air mata dan penderitaan. Dan kalau sedianya engkau kabulkan, kalau sedianya engkau terima kedatanganku, saya pun tidak meminta upah dan balasan dari engkau. Upah yang saya harapkan hanya dari Dia, Allah Yang Maha Esa , supaya engkau diberiNya bahagia , dihentikannya aliran air matamu yang telah mengalir sekian lama. Upahku yang kedua, yang saya harapkan daripadaNya, hanyalah supaya saya dapat hidup dekatmu, laksana hidupnya sebatang rumput sarut di bawah lindungan pohon beringin dengan aman dan sentosa, dipuput oleh angin pagi yang lembut gemulai…

            Zainuddin!..Mengapa engkau tak suka memaafkan kesalahanku? Demi Allah! Saya sudah insaf, bahwa tidak ada seorang pun yang pernah saya cintai didalam alam ini, melainkan engkau seorang. Tidak pernah beroleh tenteram diriku setelah aku coba hidup dengan org lain. Orang yang telah mengecewakan hatimu itu, yang sekarang telah insaf dan telah menghukum dirinya sendiri, meskipun dia sanggup memperoleh tubuhku, dia selamanya belum sanggup memperoleh hatiku. Karena hatiku telah untukmu sejak saya kenal akan dikau.

            Kalau sekiranya engkau maafkan kesalahanku,cengkau lupakan kebebalan dan kecongkakan ninik mamakku,kalau…kalu sekiranya maafmu memberi izin mimpimu sendiri terkabul; kalau sedianya semuanya itu kejadian,ecngkau akan beroleh seorang perempuan yang masih suci batinnya, suci jiwanya, belum pernah disentuh orang lain, hatinya belum pernah dirampas orang, yang tidak bedanya dengan ’Permatamu yg Hilang’ dan dengan gadis Batipuh yang engkau cintai dua dan tiga tahun yang lalu, yang gambarnya tergantung di kamar mu!

            Piala kecintaan terletak dihadapan kita, penuh dengan madu hayat nikmat ilahi. Air madu itu telah tersedia di dalamnya untuk kita minum berdua, biar isinya menjadi kering, dan setelah kering kita telah boleh pulang ke alam baqa dengan wajah yang penuh senyuman, kita mati dengan bahagia sebagaimana hidup telah bahagia.Tiba-tiba dengan tidak merasa kasihan, engkau sepakkan piala itu dengan kakimu, sehingga terjatuh, isinya tertumpah habis, pialanya pecah. Lantaran itu, baik saya atau engkau sendiri, meskipun akan masih tetap hidup, akan hidup bagai bayang-bayang layaknya. Dan kalau kita mati, kita akan menutup mata dengan penuh was-was dan penyesalan.

            Apa sebab engkau begitu kejam, tak mau memberi maaf kesalahanku? Padahal telah lebih dahulu bertimpa-timpa azab sengsara ke atas diriku lantaran mungkir ku! Kelihatan oleh matamu sendiri bagaimana saya dan suamiku menjadi pengemis di waktu kayamu, menumpang di rumahmu untuk mmperlihatkan bagaimana sengsaraku lantaran tak jadi bersuami dengan engkau. Hilang…hilang semuanya. Hilang suami yang kusangka dapat memberiku bahagia. Hilang kesenagan dan mimpi yang ku harap-harapkan. Setelah semuanya kuderita, harus kudengar pula dari mulutmu sendiri kata penyesalan, membongkar kesalahan yg lama, yg memang sudah nyata kesalahan, yang oleh Tuhan sendiripun kalau kita bertobat kepadaNya, walaupun bagaimana besar dosa, akan diampuniNya.

            Adakah engkau tahu, hai Zainuddin, siapakah perempuan yang duduk di kamar tulismu kemarin itu? Yang engkau beri kata pediih, kata penyesalan, kata engkau bongkar kesalahannya dan kedosaaannya, yang engkau remukkan jiwanya dengan tiada peduli?

            Perempuan itu tidak lain dari satu bayang-bayang yang telah hilang segenap semangatnya, yang telah habis seluruh kekuatannya, tidak berdaya upaya lagi, habis kekuatan panca inderanya dan perasaannya; matanya melihat, tetapi tak bercahaya, telinga mendengar, tetapi tiada ia  mafhum lagi apa yg didengarnya.

            Yang tinggal hanya tubuhnya,batinnya sudah tak berkekuatan lagi… 

            Inilah dia  perempuan yang engkau sakiti itu. Itulah perempuan yang engkau timbang sengsaranya dan ratapnya. Engkau ulurkan kepadanya tanganmu yang kuat dan kuasa, engkau tikam dia dengan keris pembalasan, mengenai sudut jantungnya, terpancar darah dan akan tetap mengalir sampai sekering-keringnya, mengalir bersamaan dengan jiwanya.. 

            Inilah perempuan yang engkau sakiti itu!

            Tetapi sungguhpun demikian pembalasan yang engkau timpakan ke atas pundakku, kesalahanmu telah ku ampuni, telah kuhabisi, telah kumaafkan. Sebabnya ialah lantaran saya cinta akan engkau. Dan Karena saya tahu bahawasanya yang demikian engkau lakukan adalah lantaran cinta juga. Cuma satu pengharapan yang penghabisan, heningkan hatimu kembali, sama-sama kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya, maafkan saya, letakkan saya kembali dalam hatimu menurut letak yang bermula, cintai saya kembali sebagaimana cintaku kepadamu dan jangan saya dilupakan…

            Engkau suruh saya pulang ke kampungku dan engkau berjanji akan membantuku sekuat tenagamu sampai saya bersuami pula.

            Zainudin! Apakah artinya harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yang ada dekatku? 

            Saya turutkan permintaan itu, saya akan  pulang .Tetapi, percayalah Zainudin bahwa saya pulang ke kampungku, hanya dua yang ku nantikan: pertama kedatangan mu kembali, menurut janjiku yang bermula, yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun,biar berganti musim. Dan yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang-awang itu.

            Selamat tinggal, Zainudin! Selamat tinggal, wahai orang kucintai di dunia ini! Seketika saya meninggalkan rumah mu, hanya namamu yang tetap jadi sebutan ku. Dan agaknya kelak, engkaulah yang akan terpatri dalam doaku, bila saya menghadapTuhan di akhirat…

            Mana tahu, umur di tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau ziarah ke tanah pusaraku, bacakan doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna dari bekas tanganmu sendiri, untuk jadi tanda bahwa di sanalah terkubur seorang perempuan muda, yang hidupnya penuh dgn penderitaan dan kedukaaan dan matinya remuk rindu dan dendam..

            Mengapa suratku ini banyak membicakan mati? Entahlah, Zainudin, saya sendiri pun heran, seakan-akan kematian itu telah dekat datangnya. Kalau ku mati dahulu daripadamu,  jangan engkau berduka hati, melainkan sempurnakan permohonan doa kepada Tuhan, moga-moga jika banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yang tidak akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh rasam basi manusia…

            Selamat tinggal, Zainudin, dan biarlah penutup surat ini ku ambil perkataan yg paling enak ku ucapkan di mulut ku dan agaknya entah dengan  itu ku tutup hayatku di samping menyebut kalimat syahadat, yaitu : Aku cinta akan engkau, dan kalau ku mati, adalah kematianku di dalam mengenangkan engkau…”
                                                                                                 
                                                                                              .Sambutlah salam dari:
                                                                                                            Hayati