Senin, 23 September 2013

Hanya perbincangan untuk menghabiskan waktu yang tersisa



Hanya perbincangan untuk menghabiskan waktu yang tersisa. Waktu itu aku dan teman sekelasku membahas sedikit topik yang menyangkut masa lalu. Tentang kebanggaan memiliki seorang sahabat.

Aku bertanya apa selama hidupnya temanku memiliki seorang sahabat. Ia pun justru balik bertanya kepadaku. Aku terdiam. Aku sendiri tidak tahu apa definisi seorang sahabat. Bagiku kata sahabat itu maknanya kabur, samar-samar. Tidak seperti teori relativitas Einstein atau rentetan rumus hukum Newton yang wajib dipahami oleh anak-anak SMA saat ini. Sampai saat ini, aku mendefinisikan sahabat sebagai suatu teori ketidakpastian. Karena terkadang saat kita menganggap seseorang sebagai sahabatnya, belum tentu orang yang dimaksudnya meresponnya dengan jawaban, “Kau juga sahabatku”. Begitu tidak pastinya, entah apa karena kita tidak menuntut sebuah kepastian darinya.

Kembali ke cerita awal. Temanku berkata, seumur hidupnya ia merasakan memiliki teman sejalan, dalam bahasa Jawa kanca plek, saat ia masih SD. Itupun karena ia selama 6 tahun berturut-turut satu kelas dengannya. Kalau seperti itu sih, aku juga punya. Bukan hanya di sekolah, di rumah, di tempat ngaji, sampai di pasarpun aku punya. Dari sifat alim seperti sahabat-sahabat nabi dahulu sampai kegilaan akut tanpa ampun yang di derita teman – temanku. Bersama teman-temanku, dulu aku pernah belajar kelompok, bersepeda keliling kota, mencuri jambu biji tetanggaku, menggoda balita-balita sampai menangis, menjadi orang tua angkat seekor kucing, melempar mercon di pekarangan orang sehabis salat subuh, sampai iseng menelpon nomor telepon rumah di buku telepon. Begitu nakalnya, entah aku jadi bangga karena kejahatan kelas ikan sarden itu aku lakukan bersama-sama.

Memiliki sahabat berarti harus memiliki kehati-hatian. Meningkatkan sensitivitas dan kepekaan perasaan, dan emosi. Harus lebih peka daripada detektor banjir di sungai-sungai kumuh itu. Karena kita saling mengenal dan mengetahui kelebihan dan kelemahan kita, bahkan mungkin sejak kita lahir dan mata kita mulai melihat dunia luar. Karena itu berarti beberapa hidup, nyawa, dan jiwa kita luapkan bersama sahabat.

Temanku tadi bertanya lagi, apa aku punya sahabat.

Aku jawab saja, waktu SD...

2 komentar:

  1. aku pernah menganggap seseorang sahabat, tapi ternyata orang itu tidak menganggapku begitu. Rasanya sakit bertepuk sebelah tangan :(

    BalasHapus
  2. Terima kasih Kenya...
    Ya, tidak bisa dipungkiri. Terkadang kita berharap segala yang kita inginkan akan dilakukan juga oleh teman kita. Masalahnya sekarang adalah di mana kita meletakkan rasa tulus dan ikhlas untuk teman kita itu. Meletakkan dasar-dasar kebaikan dalam pertemanan kita.

    Kenya bisa melakukan itu, dengan hati yang besar dan baik tentunya. hehe.. :D

    BalasHapus